Pages

 

Selasa, 19 Februari 2013

Pendugaan Keragaman Genetik 7 Genotipe Cabai (Capsicum annuum .L) di Lahan Gambbut

1 komentar


I.       PENDAHULUAN
      
1.1.   Latar Belakang
Cabai (Capsicum annuum L.) termasuk salah satu komoditas unggulan hortikultura kelompok sayuran buah yang sangat penting dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Komoditas ini digunakan dalam keperluan sehari-hari sebagai bumbu masakan (Pratiwi dkk, 2006). Berdasarkan data dari Kepala Dinas Pertanian Kota Pekanbaru Sentot D Prayitno di Harian Haluan (2012), konsumsi cabai di Pekanbaru mencapai 4 ton/hari, sedang petani cabai hanya mampu menghasilkan 2,46 ton/hari, kekurangan pasokan didatangkan dari Provinsi tetangga, seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Jawa.
Areal pertanaman cabai menduduki angka terluas diantara tanaman sayuran lainnya (Sujiprihati dkk, 2007). Badan Pusat Statistik (2012) menyatakan bahwa luas areal panen tanaman cabai  di Provinsi Riau adalah 3,166 ha dengan produksi 11,942 ton dan  produktifitas 3,77 ton/ha. Angka ini masih rendah dari potensi cabai yang semestinya, yaitu 17-21 ton/ha (Bahar dan Nugrahaeni. 2008 dikutip Daryanto, 2010). Rendahnya produktifitas cabai disebabkan kurang tersedianya benih berkualitas, serangan hama dan penyakit, serta teknologi budidaya dan pasca panen yang belum optimal (Syukur dkk, 2010). Menurut Suharsono dkk (2009) Penggunaan benih hibrida merupakan salah satu usaha untuk peningkatan produksi cabai. Peningkatan hasil hibrida cabai dapat mencapai 61% lebih tinggi dari tetuanya (Kallo, 1986 dikutip Syukur dkk, 2012).
Riau merupakan salah satu Provinsi yang memiliki luas lahan gambut cukup tinggi, yaitu 4.043.600 ha, selain arealnya yang luas gambut merupakan lahan potensial untuk dikembangkan khususnya untuk tanaman sayuran  (Kristijono, 2003). Hasil penelitian Fatwa (2010) menyatakan bahwa tanaman cabai yang ditanam pada lahan gambut dangkal tanpa pemberian perlakuan menunjukkan bobot buah pertanaman untuk cabai keriting sebesar 132,14 g setara dengan 2,64 ton/ha, walaupun angka tersebut masih belum tergolong tinggi, hal ini menunjukkan bahwa lahan gambut memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk tanaman cabai.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas cabai di Riau melalui perakitan varietas unggul cabai. Varietas unggul mempunyai sifat yang mendukung hasil tinggi dan kualitas buah prima (Syukur dkk, 2012). Varietas unggul akan didapatkan apabila terdapat program pemuliaan dan metode seleksi yang efektif dan efisien. Sebelum menetapkan metode pemuliaan dan seleksi yang akan digunakan serta kapan seleksi akan dimulai, perlu diketahui berapa besar keragaman genetik. Keragaman genetik yang luas untuk beberapa karakter pada populasi disebabkan latar belakang genetik populasi yang berbeda. Keragaman genetik sangat mempengaruhi keberhasilan suatu proses seleksi dalam program pemuliaan tanaman (Poehlman and Sleeper, 1995). Selain itu, perlu juga diketahui nilai heritabilitas karakter-karakter yang akan dijadikan target seleksi (Pinaria et al., 1995). Heritabilitas adalah proporsi dari ragam fenotipe total yang disebabkan oleh efek gen (Stansfield, 1991). Ragam fenotipe terdiri dari ragam genetik, ragam lingkungan, serta interaksi antara ragam genetik dan lingkungan (Syukur dkk, 2012).
Seleksi terhadap populasi yang memiliki heritabilitas tinggi akan lebih efektif dibandingkan dengan populasi dengan heritabilitas rendah. Hal ini disebabkan pengaruh genetiknya lebih besar daripada pengaruh lingkungan yang berperan dalam ekpresi karakter tersebut. Ada dua macam heritabilitas, yaitu heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Heritabilitas arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dan ragam fenotipe, sedangkan heritabilitas arti sempit  merupakan perbandingan antara ragam aditif dan ragam fenotipe (Syukur dkk, 2012).
Hasil penelitian Deviona dkk (2011) mendapatkan 6 genotipe cabai koleksi IPB yang selanjutnya dilakukan hibridisasi untuk mengetahui pewarisan sifat F1 hasil persilangan, kemudian dievaluasi untuk mengamati kemampuan adaptasi genotipe cabai di lahan gambut.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis melakukan penelitian yang berjudul “Pendugaan Keragaman Genetik 7 Genotipe Cabai (Capsicum annuum .L) Di Lahan Gambut”.

1.2.   Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaman genetik 7 genotipe cabai yang ditanam di lahan gambut.

1.3.   Hipotesis
Terdapat karakter yang memiliki keragaman genetik yang luas sebagai kriteria seleksi dari 7 genotipe cabai yang ditanam di lahan gambut.


II.       TINJAUAN PUSTAKA

2.1.    Tanaman Cabai (Capsicum annuum .L)
Tanaman cabai (Capsicum annuum .L) berasal dari bagian tropis dan subtropis benua Amerika, khususnya Kolombia, Amerika Selatan. Selanjutnya tanaman tersebut menyebar ke Amerika Latin. Hal ini diketahui setelah Christhoper Columbus mendapati Benua Amerika sekitar tahun 1492. Kala itu Ia berlabuh di pantai San Salvador dan menemukan banyak rempah-rempah, termasuk cabai. Ia membawa biji cabai ke negara asalnya, Italia. Sejak saat itulah cabai tersebar ke berbagai penjuru bumi. Adapun yang berperan dalam penyebaran cabai ke seluruh negara, termasuk negara-negara di Asia, seperti Indonesia adalah pedagang Spanyol dan Portugis. (Syukur dkk, 2012).
Cabai adalah rempah yang paling populer dan digunakan secara luas di seluruh dunia. Biasanya dikonsumsi dalam bentuk segar, kering atau olahan sebagai sayuran dan bumbu. (Rubatzky dan Yamaguchi 1999). Cabai mengandung protein, lemak, karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin-vitamin, dan mengandung senyawa-senyawa alkaloid, seperti capsaicin, flavenoid, dan minyak esensial yang berguna bagi kesehatan manusia (Setiadi, 1993).
Cabai termasuk tanaman semusim (annual) berbentuk perdu, berdiri tegak dengan batang berkayu, dan memiliki banyak cabang. Tinggi tanaman dewasa antara 65-120 cm. lebar tajuk tanaman 50-90 cm (Sartika, 2000).
Dalam dunia tumbuh-tumbuhan, tanaman cabai diklasifikasikan dalam  kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, subkelas Sympetale, ordo Turbiflorae, famili Solanaceae, genus Capsicum, spesies Capsicum annuum .L (Rubatzky dan Yamaguchi 1997). Cabai merah (Capsicum annuum .L) merupakan salah satu spesies dari 20-30 spesies dalam genus Capsicum. Capsicum annuum .L Dikelompokkan dalam varietas Longum, varietas abbreviate, varietas grossum, dan varietas minimum (Syukur dkk, 2012).
Perakaran tanaman cabai merupakan akar tunggang yang terdiri atas akar utama (primer) dan akar lateral (sekunder). Dari akar lateral keluar serabut-serabut akar (akar tersier). Panjang akar primer berkisar 35-50 cm. Akar lateral menyebar sekitar 35-45 cm. Akarnya mampu menembus tanah hingga kedalaman 50 cm dan melebar sampai 40 cm (Poulos, 1996).
Batang utama cabai tegak lurus dan kokoh, tinggi sekitar 30-37,5 cm, diameter batang antara 1,5-3,0 cm. Batang utama berkayu dan berwarna coklat kehijauan. Pembentukan kayu pada batang utama mulai terjadi pada umur 30 hari setelah tanam (HST). Pada setiap ketiak daun akan tumbuh tunas baru yang dimulai pada umur 10 HST. Namun, tunas-tunas ini harus dihilangkan (dirempel) sampai batang utama menghasilkan bunga pertama tepat diantara cabang primer. Cabang primer inilah yang harus dipelihara dan tidak dirempel sehingga bentuk percabanagan dari batang utama ke cabang primer berbentuk huruf “Y”, demikian pula antara cabang primer ke cabang sekunder (Setiadi, 1993).
Daun cabai berwarna hijau muda sampai hijau gelap tergantung varietasnya. Daun Cabai merupakan daun tunggal dengan helaian daun berbentuk bulat telur, lonjong dan oval dengan ujung runcing atau tergantung pula pada varietas dan jenisnya. Daun ditopang oleh tangkai daun dan mempunyai pertulangan menyirip. Secara umum bentuk daun cabai hibrida adalah lonjong dengan ujung daun meruncing (Direktorat Tanaman Sayuran, Hias, dan Aneka Tanaman, 2003).
Bunga cabai berbentuk seperti terompet (hypocrateriformis). Bunga cabai tergolong bunga yang lengkap (Completus) karena terdiri dari kelopak bunga (calyx), mahkota bunga (corolla), benang sari (stamen), dan putik (pistillum). Bunga cabai umumnya bersifat tunggal tumbuh pada ujung ruas. Alat kelamin jantan (benang sari) dan alat kelamin betina (putik) pada cabai terletak dalam satu bunga sehingga disebut berkelamin dua (hermaphrodites). Bunga cabai biasanya menggantung, terdiri dari 6 helai kelopak bunga berwarna hijau dan 5 helai mahkota bunga berwarna putih. Tangkai putik berwarna putih dengan kepala putik berwarna kuning kehijauan. Dalam satu bunga terdapat 1 putik dan 6 benang sari. Tangkai sari berwarna putih dengan kepala sari berwarna biru keunguan. Setelah terjadi penyerbukan, akan terjadi pembuahan. Pada saat pembentukan buah, mahkota bunganya rontok tetapi kelopak bunga tetap menempel pada buah. (Sartika, 2000).
Buah cabai termasuk dalam kategori buah buni (beri) berbiji banyak. Buah seringkali tumbuh tunggal pada setiap buku. Warna buah dan bentuk buah bervariasi tergantung pada kultivarnya (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999). Buah cabai keriting penampilannya agak berkeriput, sedang cabai besar penampilannya agak mulus. Ukuran kedua cabai ini bisa mencapai sebesar ibu jari. Cabai rawit berukuran  kecil – kecil, tetapi rasanya pedas. Cabai paprika memiliki bentuk yang beragam (Tarigan dan Wiryanta,  2003).
Cabai memiliki daya adaptasi yang luas, dapat ditanam baik di dataran tinggi maupun dataran rendah (Sunarjono, 2006).  Rubatzky dan Yamaguchi (1999) berpendapat bahwa tanah yang paling ideal untuk tanaman cabai adalah tanah yang mengandung cukup bahan organik dan mempunyai pH sekitar 6.0-6.5. Keadaan pH sangat penting karena erat kaitannya dengan unsur hara yang terkandung didalam tanah tersebut. Wiryanta dan Wahyu (2002) menambahkan tanah yang terlalu asam, selain menghambat penyerapan unsur hara oleh tanaman, juga dikhawatirkan mengundang cendawan Rhizoctonia sp. Dan Phytium sp. Karena kedua cendawan tersebut berkembang biak di tanah asam. Pengapuran dilakukan apabila pH tanah kurang dari 6.0.
          Rubatzky dan Yamaguchi (1999) menyatakan suhu udara yang paling cocok untuk pertumbuhan cabai rata-rata adalah 16 oC pada malam hari dan 23 oC pada siang hari. Tanaman cabai membutuhkan curah hujan sekitar 600-1200 mm/tahun untuk pertumbuhannya. Tanaman cabai tidak menginginkan curah hujan yang tinggi atau iklim yang basah, karena tanaman akan dengan mudah terserang penyakit.

2.2.  Tanah Gambut
Tanah gambut merupakan tanah organik dengan kandungan lebih dari 65% bahan organik, terdiri dari sisa tanaman yang separuh membusuk. Lahan gambut berkembang di areal yang tergenang air. Gambut biasanya berwarna hitam dan berongga, gambut dapat mengandung 90% air (Davies, 2011).
Gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan >30cm. Proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowegeno, 1986). Gambut terbentuk dari lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara akibat genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah telah mencegah aktivitas mikro-organisme yang diperlukan dalam perombakan. Laju penimbunan gambut dipengaruhi oleh peduan antara keadaan topografi dan curah hujan dengan curahan perolehan air yang lebih besar dari pada kehilangan air serta didukung oleh sifat tanah dengan kandungan fraksi debu (silt) yang rendah. 
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi gambut saprik, gambut hemik, gambut fibrik. Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%.  Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%. Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih tersisa (Noor, 2001).
Menurut Suprapto (2009) lahan gambut Riau merupakan potensi besar sebagai penyedia karbon. Luasnya urutan pertama di Sumatera, mencapai 4 juta hektar (ha) dari total 7,2 juta ha gambut di Sumatera atau mencapai 56,01 persen. Pemerintah sudah membuat regulasi larangan pengolahan lahan gambut pada ukuran kedalaman tertentu, tetapi pelanggaran terus terjadi pada pembukaan kebun dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Menurut data statistik 4.043.600 ha dari seluruh daratan di Provinsi Riau yang terdiri dari tanah gambut (Balai Besar Litbang DDLP Bogor dalam Agus et al, 2008). Hal ini merupakan peluang dalam pemberdayaan budidaya tanaman hortikultura, dengan strategi-strategi pola penanganan lahan gambut yang benar maka akan didapatkan produksi yang cukup memuaskan untuk budidaya cabai.

2.3.  Pemuliaan Tanaman Cabai
Tanaman cabai dapat ditanam di dataran rendah sampai tinggi dan diberbagai jenis tanah. Namun kiranya sulit untuk suatu varietas unggul dalam segala lingkungan. Karena itu, perlu diusahakan bermacam-macam varietas unggul untuk suatu lingkungan tertentu (Santika, 2002).
Pemuliaan tanaman (plant breeding) adalah perpaduan antara seni dan ilmu dalam merakit keragaman genetik suatu populasi tanaman tertentu menjadi lebih baik atau unggul dari sebelumnya (Syukur dkk, 2012). Kegiatan pemuliaan tanaman merupakan serangkaian kegiatan yang saling berkaitan, diawali dengan koleksi plasma nutfah, evaluasi plasma nutfah, penerapan metode pemuliaan dan seleksi terhadap populasi yang terbentuk diikuti evaluasi terhadap hasil pemuliaan (Allard, 1960).
Menurut Syukur dkk (2012) menyatakan bahwa tanaman dibedakan ke dalam dua jenis penyerbukan, yaitu tanaman menyerbuk sendiri dan tanaman menyerbuk silang. Tanaman cabai termasuk ke dalam tanaman menyerbuk sendiri. Namun, peluang tanaman cabai untuk menyerbuk silang mencapai 35%. Menurut Kusandriani (1996), terdapat beberapa tujuan pemuliaan cabai antara lain: (1) memperbaiki daya hasil dan kualitas hasil, (2) perbaikan daya resistensi terhadap hama dan penyakit tertentu, (3) perbaikan sifat-sifat hortikultura, (4) perbaikan terhadap kemampuan mengatasi cekaman lingkungan.
Pemilihan metode pemuliaan dalam tanaman cabai tergantung pada tujuan pemuliaan dan bahan tanaman yang akan digunakan sebagai tetua. Strategi yang diterapkan oleh pemulia tanaman cabai biasanya dengan merakit kultivar yang memiliki potensi genetik unggul. Kultivar cabai telah dikembangkan dengan seleksi dalam hibridisasi dan hibridisasi yang diikuti dengan seleksi (Bosland, 1996). Hibridisasi adalah kegiatan untuk menggabungkan sifat sepasang atau  lebih tetua yang memiliki genotipe unggul untuk memperoleh kombinasi genetik yang diinginkan melalui persilangan dua atau lebih tetua yang berbeda genotipenya (Poespodarsono, 1988).
Identifikasi suatu karakter meliputi karakteristik gen yang mengendalikan dan pola pewarisan karakter tersebut. Informasi ini akan dijadikan sebagai dasar pembentukan metode pemuliaan tanaman (Kasno, 1999). Hayman (1961) mengemukakan bahwa studi genetik untuk mempelajari pola pewarisan gen yang mengendalikan suatu karakter dapat dilakukan dengan menduga parameter genetik. Salah satu cara untuk menduga parameter genetik adalah analisis silang dialel dengan menyilangkan beberapa galur/genotipe yang memiliki sifat tertentu. Persilangan antara galur/genotipe ini akan menginformasikan karakteristik dari gen-gen pengendali karakter serta daya gabung dari masing-masing galur/genotipe sehingga pada tahap akhir dari kegiatan pemuliaan tanaman akan menghasilkan varietas baru yang memiliki keunggulan untuk sifat-sifat yang diwariskan (Syukur,  2006).



III.   BAHAN DAN METODE

3.1.  Waktu dan Tempat
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai Februari 2013 di Laboratorium Lapangan Fakultas Pertanian Universitas Riau, Desa Rimbo Panjang Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar. Penyemaian dilakukan di rumah kassa Laboratorium Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Riau kampus Bina Widya Panam.

3.2.  Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah 4 tetua  dan 3 genotipe F1 hasil persilangan cabai (Tabel 1). 
Sarana produksi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah media tanam berupa campuran topsoil dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1, pupuk NPK, TSP, KCl dan Urea, Gandasil D, kapur, dan Gandasil B. Pestisida yang digunakan terdiri dari Dithane M-45, Curacron, dan Dicofan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mulsa Plastik Hitam Perak (MPHP), tray semai, cangkul, ember, ayakan, sprayer, pelubang mulsa, tali rafia, gunting, gembor, ajir, timbangan, label dan alat tulis. Sedangkan di laboratorium  alat yang dipakai adalah timbangan analisis (Sartorius Model M122MF).

Tabel 1. Bahan tanam tetua dan hasil persilangan genotipe cabai
Kode Genotipe
Genotipe Persilangan
A
              IPB C-5 ( cabai besar )
B
        IPB C-111 ( cabai kriting )
C
              IPB C-120 ( cabai keriting)
D
              IPB C-159 ( cabai kriting )
E
              IPB C-159 x IPB C-5
F
              IPB C-159 x IPB C-111
G
              IPB C-159 x IPB C-120

3.3.  Metode Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), faktor tunggal yang terdiri dari 4 tetua dan 3 genotipe F1 hasil persilangan cabai dengan 3 ulangan (Lampiran1), sehingga terdapat 21 satuan percobaan. Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman, dari jumlah tersebut diambil  10 tanaman sebagai sampel.
Data yang diperoleh dianalisis dengan anova menggunakan fasilitas SAS 9 dan jika uji F nyata pada peubah tersebut dilakukan uji lanjut Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) taraf 5% dan diduga parameter genetiknya. Parameter genetik berupa ragam genotipe 2G), Ragam Fenotipe (σ2P), dan koefisien keragaman genetik (KKG) diduga dengan menggunakan formula (Singh and Chaudhary, 1979) sebagai berikut:



                
KKG =  × 100%
Keterangan:
      = ragam genotipe
      = ragam eror
      = ragam fenotipe
r           = ulangan
          = nilai tengah peubah
            Luas atau sempitnya nilai keragaman genetik suatu karakter ditentukan berdasarkan ragam genetik dan standar deviasi ragam genetik menurut rumus berikut:
 =
bila:
   : keragaman genetiknya luas,
   : keragaman genetiknya sempit (pinaria et al., 1995).
            Nilai heritabilitas dalam arti luas diduga dengan persamaan berikut:
=
Menurut Syukur et al. (2009), tinggi rendahnya nilai heritabilitas digolongkan sebagai berikut:
-            Rendah    : h2 < 0.2
-            Sedang     : 0.2 ≤ h2 ≤ 0.5
-            Tinggi       : h2 > 0.5

3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Pembibitan
Benih cabai ditanam dalam tray semai dengan ukuran 3 x 3,5 cm per lubang tanam dengan 72 lobang tanam untuk 1 tray. Tray diisi dengan media tanam berupa campuran top soil dan pupuk kandang ditambahkan NPK sebanyak 3 g/kg media tanam. Benih dimasukkan kedalam tray sebanyak 1 benih per lubang tanam sedalam lebih kurang 0,5 cm lalu ditutup kembali dengan tanah halus. Pembibitan dilakukan hingga bibit berumur 6 Minggu Setelah Semai (MSS). Setiap pagi dan sore hari bibit disiram dengan air hingga media tanam berada dalam keadaan lembab.
Setelah bibit berumur 2 MSS dilakukan pemupukan dan pengendalian organisme pengganggu. Pupuk yang diberikan berupa NPK Mutiara 16-16-16 dengan dosis (10 g/l) dan Gandasil D (1 g/l). Larutan NPK diberikan dengan cara menyiramkan pada daerah perakaran tanaman sementara larutan Gandasil D diberikan dengan cara disempotkan pada tanaman. Pengendalian organisme pengganggu tanaman dilakukan dengan menggunakan  insektisida Curacron 500 EC (1 cc/liter), fungisida Dithane 70 WP (1 g/liter). Kedua pestisida tersebut diaplikasikan dengan cara disemprotkan pada tanaman menggunakan hand sprayer dan diaplikasikan seminggu sekali.


3.4.2. Persiapan Lahan
Lahan dipersiapkan melalui proses mencangkul yang dilanjutkan dengan penggemburan dan perataan tanah. Setelah itu lahan dibagi menjadi 3 petak besar untuk tiga ulangan. Setiap petakan besar tersebut dibagi menjadi 7 bedengan dengan ukuran 1 m x 5 m untuk setiap genotipe dengan jarak antar bedengan 50 cm.
Untuk menetralkan pH setiap bedengan diberi kapur sebanyak 2 kg/bedengan dan dibiarkan selama satu minggu. Kemudian diberi  pupuk kandang sebanyak 20 kg/bedengan dengan cara diaduk rata di atas permukaan bedengan dan dibiarkan selama satu minggu. Setelah pupuk kandang dibiarkan satu minggu, selanjutnya diberi pupuk dasar yaitu Urea, TSP dan KCl masing-masing dengan dosis 350 g, campuran pupuk tersebut disebar secara merata pada bedengan. Setelah lahan disiapkan sesuai rancangan, bedengan ditutup dengan Mulsa Plastik Hitam Perak (MPHP) dan dibuat lubang menggunakan alat pelubang mulsa dengan jarak 50 cm x 50 cm.

3.4.3. Penanaman
Bibit dipindahkan ke lapangan setelah berumur 6 MSS, setiap lubang tanam ditanami satu bibit cabai. Penanaman dilakukan pada sore hari.

3.4.4. Pemeliharaan
3.4.4.1  Penyiraman
Penyiraman dilakukan 2 kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari, terutama jika tidak turun hujan. Penyiraman dilakukan dengan menggunakan gembor sampai keadaan tanah menjadi lembab.
3.4.4.2 Penyulaman
Penyulaman dilakukan pada tanaman cabai yang mengalami  pertumbuhan yang abnormal, layu, dan terserang hama atau penyakit. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengganti tanaman tersebut dengan tanaman yang berumur sama yang telah dipersiapkan sebelumnya. Waktu penyulaman adalah minggu pertama setelah pindah tanam dan dilakukan pada sore hari untuk menghindari transpirasi yang tinggi karena cahaya matahari.

3.4.4.3. Pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit
Pemupukan dan pengendalian hama penyakit dilakukan satu minggu sekali dengan cara dikocor/disiram dan disemprotkan pada tanaman. Pupuk NPK Mutiara (10 g) dicampur dengan Dhitane (2 g) dilarutkan dalam 1 liter air disiramkan di perakaran tanaman dengan dosis 250 ml per tanaman. Gandasil B/D sebanyak 2 g ditambahkan Curacron 500 EC sebanyak 2 ml, dan Antracol (2 ml) dicampurkan ke dalam 1 liter air, kemudian disemprotkan ke tanaman penyemprotan ini dilakukan satu minggu sekali sejak tanaman berumur 2 minggu setelah tanam sampai akhir panen. Fungisida Antracol atau Dhitane dilakukan berselang seling selama pengendalian hama dan penyakit.
Pupuk Gandasil D diaplikasikan saat pertumbuhan vegetatif (daun), yaitu dari pindah tanam sampai umur 4 minggu setelah tanam. Sedangkan pupuk Gandasil B diaplikasikan saat pertumbuhan generatif, yaitu pada umur 4  minggu setelah tanam sampai tanaman berumur 4 bulan.

3.4.4.4. Penyiangan
Penyiangan secara manual dilakukan pada gulma yang tumbuh di sekitar perakaran.  Untuk gulma yang tumbuh pada areal di luar bedengan dilakukan penyiangan secara mekanik menggunakan cangkul.                       

3.4.5. Panen
Pemanenan dilakukan dua kali seminggu. Ciri-ciri buah yang siap dipanen adalah bila 70% bagian buah sudah berwarna merah. Panen dilakukan selama 8 minggu.

3.5. Pengamatan
Untuk  pengamatan terdiri dari peubah kuantitatif, mengacu pada Descriptors for Capsicum (IPGRI, 1995) yaitu:
1.        Waktu berbunga (HST), dihitung jumlah hari setelah tanam sampai 50% populasi tanaman setiap bedengan berbunga.
2.        Tinggi tanaman (cm), diukur dari pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi, diukur setelah panen kedua.
3.        Tinggi dikotomus/percabangan pertama (cm), diukur dari pangkal batang sampai cabang dikotomus. Pengukuran dilakukan setelah panen kedua.
4.        Diameter batang (mm), diukur ± 5 cm dari permukaan tanah setelah panen kedua, dengan menggunakan jangkar sorong digital.
5.        Lebar tajuk (cm), diukur pada tajuk terlebar setelah panen pertama.
6.        Umur panen (HST), dihitung jumlah hari setelah 50% tanaman di dalam petak telah mempunyai buah masak pada percabangan pertama.
7.        Bobot buah (g), diambil rata-rata 10 buah setiap satuan percobaan mulai dari panen kedua dan diukur menggunakan timbangan analitik.
8.        Panjang buah (cm), diambil rata-rata 10 buah setiap satuan percobaan mulai dari panen kedua dan diukur dari pangkal sampai ujung buah.
9.        Panjang tangkai buah (cm), diambil rata-rata 10 buah setiap satuan percobaan mulai dari panen kedua dan diukur dari ujung tangkai sampai pangkal buah.
10.    Diameter buah (mm), diambil rata-rata 10 buah setiap satuan percobaan mulai dari panen kedua dan diukur mengunakan jangka sorong.
11.    Bobot per tanaman (g), diambil jumlah produksi buah setiap tanaman sampel mulai dari panen pertama sampai dengan panen terakhir.



DAFTAR PUSTAKA
Agus, F dan I.G. Made .S. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: J Wiley & Sons.

Badan Pusat Statistik. 2012. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Cabai 2009-2011. http://www.bps.go.id/. [18 November 2012].

Boslan, P. W. 1996. Capsicums: Innovative uses of an ancient crop. [Serial Online]. http://www.hort.purdue.edu/newcrop/proceedings1996/v3-toc.html. [14 November 2012]

Daryanto A, S. Sujiprihati, dan M. Syukur. 2010. Heterosis dan Daya Gabung Karakter Agronomi Cabai (Capsicum annuum L.) Hasil Persilangan Half Diallel. J. Agron. Indonesia 38 (2): 113-121.

Davies J. 2011. Modul Pelatihan Penilaian dan Pengelolaan Lahan Gambut. Proyek hutan lahan gambut asean dan proyek pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Sekretariat Asean dan Global Environment Center.

Deviona, E. zuhry, M. Syukur dan S. Sujiprihati. 2011.   Laporan     Hibah      Pekerti     Perakitan  Varietas Cabai Capsicum spp di lahan gambut. Lemlit UR.

Direktorat Tanaman Sayuran, Hias, dan Aneka Tanaman. 2003. Pedoman Budidaya Cabai Merah. Departemen Pertanian, Jakarta.

Fatwa M.A. 2010. Efek Mikroorganisme Selulotik Terhadap Dekomposisi Tanah Gambut dan produksi Cabai Merah Keriting (Capsicum annuum L.) Setelah Tanaman Kedelai. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru. (Tidak dipublikasikan)

Hayman BI. 1961. The theory and analisis of diallel cosses genetic. 39 : 789-809.

Harian Haluan. 2 desember 2012. Pekanbaru Butuh 4 Ton Cabai Per Hari. Pekanbaru.

     Hardjowigeno, S. 1986. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.

IPGRI. 1995. Descriptors for Capsicum (Capsicum spp.). International Plant Genetic Resources Institute 1995. Italia. 51 hal.

Kasno, A., Trustinah, dan Moedjiono. 1999. Pemilihan tetua kacang panjang melalui silang dialel dan pendugaan parameter genetik dalam Soedarjo, dkk. (editor) Komponen Teknologi Untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-umbian. Edisi khusus Balitkabi No. 16: 306−390.

Kristijono A. 2003. Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Agro-industri : Tantangan dan peluang. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat. Badanlitbang Pertanian. Departemen Pertanian. 11 hal Daskalov. 1998.

Kusandriani, Y. 1996. Botani Tanaman Cabai Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang.

Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta.

Poehlman J.M. and D.A. Sleeper. 1995. Breeding Field Crops. Iowa State University Press. USA.

Pinaria A, A. Baihaki, R. Setiamihardja dan A.A. Daradjat. 1995. Variabilitas genetic dan heritabilitas karakterkarakter biomassa 53 genotipe kedelai. Zuriat 6(2): 88-92.

Poespodarsono S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 169 hal.

Poulos J.M. 1996. Capsicum L. P 136-140. In J. S. Siemonsma and K. Piluek. Vegetable Plant Resources Of Sount East Asia 8th ed. Pudoc-DLO. Wageningen. Netherland.

Pratiwi I Y.B.S, W. Dewi W, R. Rachmadi, N. Rostini dan Setiamihardja R. 2006. Ketahanan 20 Genotip Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Terhadap Antaknos (Colletotrichum spp.) pada Pertanaman Tumpangsari dengan Singkong. Zuriat, vol. 27, No. 2.

Rubatzky V.E dan M. Yamaguchi. 1997. World Vegetables Principles, Production and Nutrictive Value, 2 nd ed. Chapman and Hall. USA. 83p.

Rubatzky V.E dan M. Yamaguchi. 1999. Sayuran Dunia 3: Prinsip Produksi, dan Gizi. Penerbit ITB. Bandung. 320 hal.

Santika A. 2002.Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta

Setiadi I. 1993. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.

Singh R.K., B.D. Chaudary. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. Kalyani Publisher. New Delhi. 302 p.

Stansfield W.D. 1991. Genetika Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta.

Suharsono, M. Alwi, dan A. Purwito. 2009. Pembentukan Tanaman Cabai Haploid melalui Induksi Ginogenesis dengan menggunakan Serbuk sari yang Diradiasi Sinar Gamma. J. Agron. Indonesia 37 (2): 123-129.

Sujiprihati S, R. Yunianti, M. Syukur dan Undang. 2007. Pendugaan Nilai Heterosis dan Daya Gabung Beberapa Komponen Hasil pada Persilangan Dialel Penuh Enam Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.). Bul. Agron. (35) (1) 28-35.

Sunarjono, H. 2006. Bertanam 30 Jenis Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta. 181 hal.

Suprapto. 2009. Gambut   Riau   Mengkhawatirkan. http://www.riaubisnis.com. Diakses pada tanggal 29 November 2012.
Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R, Undang. 2006. Seleksi hibrida cabai hasil persilangan full diallel menggunakan beberapa parameter genetic. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman di Bogor 1−2 Agustus 2006. Hal. 151−156.
Syukur M., S. Sujiprihati, R. Yunianti. 2009. Teknik Pemuliaan Tanaman. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 300 hal.

Syukur M., S. Sujiprihati, R. Yunianti. 2010. Pendugaan Komponen Ragam, Heritabilitas dan Korelasi  untuk Menentukan Kriteria Seleksi Cabai  (Capsicum annuum L.) Populasi F5. Jurnal Hortikultura Indonesia, volume  1(3):74-80.

Syukur M, S. Sujiprihati, R. Yunianti dan Kusumah D.A. 2010. Evaluasi daya hasil cabai hibrida dan daya adaptasinya di empat lokasi dalam dua tahun. J. Agron. Indonesia 38(1):43 – 51.

Syukur M, S. Sujiprihati, dan R. Yunianti. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta.

Syukur M, R. Yunianti, dan R. Darmawan. 2012. Sukses Panen Cabai Tiap Hari. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tarigan S dan W. Wiryanta. 2003. Bertanam Cabai Hibrida secara Intensif.   Agromedia Pustaka. Jakarta.

Wiryanta B. dan T. Wahyu. 2002. Bertanam Cabai pada Musim Hujan. Agromedia Pustaka. Jakarta.
 


 

1 komentar:

Zainal Arifin mengatakan...

Monggo kritik dan sarannya.. ^_^

Posting Komentar

Kritik dan saran sangat diharapkan

 
Zona Inspiratif © 2018