I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Cabai (Capsicum annuum L.)
termasuk salah satu komoditas unggulan
hortikultura kelompok sayuran buah yang sangat penting dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Komoditas
ini digunakan dalam keperluan sehari-hari sebagai bumbu masakan (Pratiwi dkk,
2006). Berdasarkan data dari Kepala Dinas
Pertanian Kota Pekanbaru Sentot
D Prayitno di
Harian Haluan (2012), konsumsi cabai di Pekanbaru mencapai 4 ton/hari, sedang
petani cabai hanya mampu menghasilkan 2,46 ton/hari, kekurangan pasokan
didatangkan dari Provinsi tetangga, seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara dan
Jawa.
Areal
pertanaman cabai menduduki angka terluas
diantara tanaman sayuran lainnya (Sujiprihati
dkk, 2007). Badan Pusat Statistik (2012) menyatakan bahwa luas
areal panen tanaman cabai di Provinsi
Riau adalah 3,166 ha dengan produksi 11,942 ton dan produktifitas 3,77 ton/ha. Angka ini masih
rendah dari potensi cabai yang semestinya, yaitu 17-21 ton/ha (Bahar dan Nugrahaeni. 2008 dikutip Daryanto, 2010). Rendahnya produktifitas cabai disebabkan kurang
tersedianya benih berkualitas, serangan hama dan penyakit, serta teknologi
budidaya dan pasca panen yang belum optimal (Syukur dkk, 2010). Menurut Suharsono dkk (2009) Penggunaan benih hibrida merupakan salah satu usaha untuk
peningkatan produksi cabai. Peningkatan hasil hibrida cabai dapat mencapai 61%
lebih tinggi dari tetuanya (Kallo, 1986 dikutip Syukur dkk, 2012).
Riau
merupakan salah satu Provinsi yang memiliki luas lahan gambut cukup tinggi,
yaitu 4.043.600 ha, selain arealnya yang luas gambut merupakan lahan
potensial untuk dikembangkan khususnya untuk tanaman sayuran (Kristijono, 2003). Hasil penelitian Fatwa
(2010) menyatakan bahwa tanaman cabai yang ditanam pada lahan gambut dangkal
tanpa pemberian perlakuan menunjukkan bobot buah pertanaman untuk cabai
keriting sebesar 132,14 g setara dengan 2,64 ton/ha, walaupun angka tersebut
masih belum tergolong tinggi, hal ini menunjukkan bahwa lahan gambut memiliki
potensi yang dapat dikembangkan untuk tanaman cabai.
Upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan produktivitas cabai di Riau melalui
perakitan varietas unggul cabai.
Varietas unggul mempunyai sifat yang mendukung hasil
tinggi dan kualitas buah prima (Syukur dkk, 2012). Varietas unggul akan
didapatkan apabila terdapat program pemuliaan dan metode seleksi yang efektif
dan efisien. Sebelum menetapkan metode
pemuliaan dan seleksi yang akan digunakan serta kapan seleksi akan dimulai,
perlu diketahui berapa besar keragaman genetik. Keragaman genetik yang luas
untuk beberapa karakter pada populasi disebabkan latar belakang genetik
populasi yang berbeda. Keragaman genetik sangat mempengaruhi keberhasilan suatu
proses seleksi dalam program pemuliaan tanaman (Poehlman and Sleeper, 1995).
Selain itu, perlu juga diketahui nilai heritabilitas karakter-karakter yang
akan dijadikan target seleksi (Pinaria et
al., 1995). Heritabilitas adalah proporsi dari ragam fenotipe total yang
disebabkan oleh efek gen (Stansfield, 1991). Ragam fenotipe terdiri dari ragam
genetik, ragam lingkungan, serta interaksi antara ragam genetik dan lingkungan
(Syukur dkk, 2012).
Seleksi terhadap populasi yang
memiliki heritabilitas tinggi akan lebih efektif dibandingkan dengan populasi
dengan heritabilitas rendah. Hal ini disebabkan pengaruh genetiknya lebih besar
daripada pengaruh lingkungan yang berperan dalam ekpresi karakter tersebut. Ada
dua macam heritabilitas, yaitu heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti
sempit. Heritabilitas arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik
total dan ragam fenotipe, sedangkan heritabilitas arti sempit merupakan perbandingan antara ragam aditif
dan ragam fenotipe (Syukur dkk, 2012).
Hasil
penelitian Deviona dkk (2011) mendapatkan 6 genotipe cabai koleksi IPB yang
selanjutnya dilakukan hibridisasi untuk mengetahui pewarisan sifat F1 hasil
persilangan, kemudian dievaluasi untuk mengamati kemampuan adaptasi genotipe
cabai di lahan gambut.
Berdasarkan uraian tersebut, maka
penulis melakukan penelitian yang berjudul “Pendugaan
Keragaman Genetik 7 Genotipe Cabai (Capsicum
annuum .L) Di Lahan Gambut”.
1.2.
Tujuan
Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaman
genetik 7 genotipe cabai yang ditanam di lahan gambut.
1.3.
Hipotesis
Terdapat karakter yang memiliki keragaman genetik yang luas sebagai
kriteria seleksi dari 7 genotipe cabai yang ditanam di lahan gambut.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tanaman Cabai (Capsicum annuum .L)
Tanaman cabai (Capsicum annuum .L) berasal dari bagian tropis dan subtropis benua Amerika,
khususnya Kolombia, Amerika Selatan. Selanjutnya tanaman tersebut menyebar ke
Amerika Latin. Hal ini diketahui setelah Christhoper Columbus mendapati Benua
Amerika sekitar tahun 1492. Kala itu Ia berlabuh di pantai San Salvador dan
menemukan banyak rempah-rempah, termasuk cabai. Ia membawa biji cabai ke negara
asalnya, Italia. Sejak saat itulah cabai tersebar ke berbagai penjuru bumi.
Adapun yang berperan dalam penyebaran cabai ke seluruh negara, termasuk
negara-negara di Asia, seperti Indonesia adalah pedagang Spanyol dan Portugis.
(Syukur dkk, 2012).
Cabai adalah rempah yang paling
populer dan digunakan secara luas di seluruh dunia. Biasanya dikonsumsi dalam
bentuk segar, kering atau olahan sebagai sayuran dan bumbu. (Rubatzky dan Yamaguchi
1999). Cabai
mengandung protein, lemak, karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe),
vitamin-vitamin, dan mengandung senyawa-senyawa alkaloid, seperti capsaicin,
flavenoid, dan minyak esensial yang berguna
bagi kesehatan manusia (Setiadi, 1993).
Cabai
termasuk tanaman semusim (annual) berbentuk perdu, berdiri tegak dengan batang
berkayu, dan memiliki banyak cabang. Tinggi tanaman dewasa antara 65-120 cm.
lebar tajuk tanaman 50-90 cm (Sartika,
2000).
Dalam
dunia tumbuh-tumbuhan, tanaman cabai diklasifikasikan
dalam kingdom Plantae, divisi Spermatophyta,
subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, subkelas Sympetale, ordo Turbiflorae, famili Solanaceae, genus Capsicum, spesies Capsicum
annuum .L
(Rubatzky dan Yamaguchi 1997). Cabai merah (Capsicum
annuum .L) merupakan salah
satu spesies dari 20-30 spesies dalam genus Capsicum.
Capsicum annuum .L Dikelompokkan
dalam varietas Longum, varietas abbreviate, varietas grossum, dan varietas minimum (Syukur dkk, 2012).
Perakaran
tanaman cabai merupakan akar tunggang yang terdiri atas akar utama (primer) dan
akar lateral (sekunder). Dari akar lateral keluar serabut-serabut akar (akar
tersier). Panjang
akar primer berkisar 35-50 cm. Akar
lateral menyebar sekitar 35-45 cm. Akarnya mampu menembus tanah hingga kedalaman 50 cm dan
melebar sampai 40 cm (Poulos, 1996).
Batang
utama cabai tegak lurus dan kokoh, tinggi sekitar 30-37,5 cm, diameter batang
antara 1,5-3,0 cm. Batang
utama berkayu dan berwarna coklat kehijauan. Pembentukan kayu pada batang utama
mulai terjadi pada umur 30 hari setelah tanam (HST). Pada setiap ketiak daun
akan tumbuh tunas baru yang dimulai pada umur 10 HST. Namun, tunas-tunas ini
harus dihilangkan (dirempel) sampai batang utama menghasilkan bunga pertama
tepat diantara cabang primer. Cabang primer inilah yang harus dipelihara dan
tidak dirempel sehingga bentuk percabanagan dari batang utama ke cabang primer
berbentuk huruf “Y”, demikian pula antara cabang primer ke cabang sekunder (Setiadi, 1993).
Daun
cabai berwarna hijau muda sampai hijau gelap tergantung varietasnya. Daun Cabai merupakan daun tunggal dengan helaian daun
berbentuk bulat telur, lonjong dan oval dengan ujung runcing atau tergantung
pula pada varietas dan jenisnya. Daun ditopang oleh
tangkai daun dan mempunyai pertulangan menyirip. Secara umum bentuk daun cabai
hibrida adalah lonjong dengan ujung daun meruncing (Direktorat Tanaman Sayuran, Hias, dan Aneka Tanaman,
2003).
Bunga
cabai berbentuk seperti terompet (hypocrateriformis).
Bunga cabai tergolong bunga yang lengkap (Completus)
karena terdiri dari kelopak bunga (calyx),
mahkota bunga (corolla), benang sari
(stamen), dan putik (pistillum). Bunga cabai umumnya bersifat tunggal tumbuh pada ujung
ruas. Alat kelamin jantan (benang sari) dan
alat kelamin betina (putik) pada cabai terletak dalam satu bunga sehingga
disebut berkelamin dua (hermaphrodites).
Bunga cabai biasanya menggantung, terdiri dari 6 helai kelopak bunga berwarna hijau dan 5 helai mahkota
bunga berwarna putih. Tangkai
putik berwarna putih dengan kepala putik berwarna kuning kehijauan. Dalam satu
bunga terdapat 1
putik dan 6
benang sari. Tangkai sari berwarna putih dengan kepala sari berwarna biru
keunguan. Setelah terjadi penyerbukan, akan terjadi pembuahan. Pada saat pembentukan
buah, mahkota bunganya
rontok tetapi kelopak bunga tetap menempel pada buah. (Sartika, 2000).
Buah
cabai termasuk dalam kategori buah buni (beri) berbiji banyak. Buah seringkali
tumbuh tunggal pada setiap buku. Warna buah dan bentuk buah bervariasi tergantung
pada kultivarnya (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999). Buah cabai keriting
penampilannya agak berkeriput, sedang cabai besar penampilannya agak mulus.
Ukuran kedua cabai ini bisa mencapai sebesar ibu jari. Cabai rawit berukuran kecil – kecil, tetapi rasanya pedas. Cabai
paprika memiliki bentuk yang beragam (Tarigan dan Wiryanta, 2003).
Cabai
memiliki daya adaptasi yang luas, dapat ditanam baik di dataran tinggi maupun
dataran rendah (Sunarjono, 2006). Rubatzky dan
Yamaguchi (1999) berpendapat bahwa tanah yang paling ideal untuk tanaman cabai
adalah tanah yang mengandung cukup bahan organik dan mempunyai pH sekitar
6.0-6.5. Keadaan pH sangat penting karena erat kaitannya dengan unsur hara yang
terkandung didalam tanah tersebut. Wiryanta dan Wahyu (2002)
menambahkan tanah yang terlalu asam, selain menghambat penyerapan unsur hara
oleh tanaman, juga dikhawatirkan mengundang cendawan Rhizoctonia sp. Dan Phytium
sp. Karena kedua cendawan tersebut berkembang biak di tanah asam. Pengapuran
dilakukan apabila pH tanah kurang dari 6.0.
Rubatzky dan
Yamaguchi (1999) menyatakan suhu udara yang paling cocok untuk pertumbuhan
cabai rata-rata adalah 16 oC pada malam hari dan 23 oC
pada siang hari. Tanaman cabai membutuhkan curah hujan sekitar 600-1200
mm/tahun untuk pertumbuhannya. Tanaman cabai tidak menginginkan curah hujan
yang tinggi atau iklim yang basah, karena tanaman akan dengan mudah terserang
penyakit.
2.2.
Tanah
Gambut
Tanah gambut merupakan tanah organik dengan kandungan
lebih dari 65% bahan organik, terdiri dari sisa tanaman yang separuh membusuk.
Lahan gambut berkembang di areal yang tergenang air. Gambut biasanya berwarna
hitam dan berongga, gambut dapat mengandung 90% air (Davies, 2011).
Gambut
dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman yang berlapis-lapis hingga mencapai
ketebalan >30cm. Proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses
geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowegeno, 1986).
Gambut terbentuk dari lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan
yang terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara akibat genangan,
ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah telah mencegah aktivitas
mikro-organisme yang diperlukan dalam perombakan. Laju penimbunan gambut
dipengaruhi oleh peduan antara keadaan topografi dan curah hujan dengan curahan
perolehan air yang lebih besar dari pada kehilangan air serta didukung oleh
sifat tanah dengan kandungan fraksi debu (silt) yang rendah.
Berdasarkan
tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi gambut saprik, gambut hemik,
gambut fibrik. Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah
melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai
hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%. Gambut hemik
(setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih
bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%.
Gambut fibrik (mentah) adalah gambut
yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan
bila diremas >75% seratnya masih tersisa (Noor, 2001).
Menurut Suprapto (2009) lahan gambut
Riau merupakan potensi besar sebagai penyedia karbon. Luasnya urutan pertama di
Sumatera, mencapai 4 juta hektar (ha) dari total 7,2 juta ha gambut di Sumatera
atau mencapai 56,01 persen. Pemerintah sudah membuat regulasi larangan
pengolahan lahan gambut pada ukuran kedalaman tertentu, tetapi pelanggaran
terus terjadi pada pembukaan kebun dan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Menurut
data statistik 4.043.600 ha dari seluruh daratan di Provinsi Riau yang terdiri
dari tanah gambut (Balai Besar Litbang DDLP Bogor dalam Agus et al, 2008).
Hal ini merupakan peluang dalam pemberdayaan budidaya tanaman hortikultura, dengan
strategi-strategi pola penanganan lahan gambut yang benar maka akan didapatkan
produksi yang cukup memuaskan untuk budidaya cabai.
2.3.
Pemuliaan Tanaman Cabai
Tanaman cabai dapat ditanam di dataran rendah sampai
tinggi dan diberbagai jenis tanah. Namun kiranya sulit untuk suatu varietas
unggul dalam segala lingkungan. Karena itu, perlu diusahakan bermacam-macam
varietas unggul untuk suatu lingkungan tertentu (Santika, 2002).
Pemuliaan tanaman (plant
breeding) adalah perpaduan antara seni dan ilmu dalam merakit keragaman
genetik suatu populasi tanaman tertentu menjadi lebih baik atau unggul dari
sebelumnya (Syukur dkk, 2012). Kegiatan pemuliaan
tanaman merupakan serangkaian kegiatan yang saling berkaitan, diawali dengan
koleksi plasma nutfah, evaluasi plasma nutfah, penerapan metode pemuliaan dan
seleksi terhadap populasi yang terbentuk diikuti evaluasi terhadap hasil
pemuliaan (Allard, 1960).
Menurut
Syukur dkk (2012) menyatakan
bahwa tanaman dibedakan ke dalam dua jenis penyerbukan, yaitu tanaman menyerbuk
sendiri dan tanaman menyerbuk silang. Tanaman cabai termasuk ke dalam tanaman
menyerbuk sendiri. Namun, peluang tanaman cabai untuk menyerbuk silang mencapai
35%. Menurut
Kusandriani (1996), terdapat beberapa tujuan pemuliaan cabai antara lain: (1)
memperbaiki daya hasil dan kualitas hasil, (2) perbaikan daya resistensi
terhadap hama dan penyakit tertentu, (3) perbaikan sifat-sifat hortikultura,
(4) perbaikan terhadap kemampuan mengatasi cekaman lingkungan.
Pemilihan
metode pemuliaan dalam tanaman cabai tergantung pada tujuan pemuliaan dan bahan
tanaman yang akan digunakan sebagai tetua. Strategi yang diterapkan oleh
pemulia tanaman cabai biasanya dengan merakit kultivar yang memiliki potensi
genetik unggul. Kultivar cabai telah dikembangkan dengan seleksi dalam
hibridisasi dan hibridisasi yang diikuti dengan seleksi (Bosland, 1996).
Hibridisasi adalah kegiatan untuk menggabungkan sifat sepasang atau lebih tetua yang memiliki genotipe unggul
untuk memperoleh kombinasi genetik yang diinginkan melalui persilangan dua atau
lebih tetua yang berbeda genotipenya (Poespodarsono, 1988).
Identifikasi
suatu karakter meliputi karakteristik gen yang mengendalikan dan pola pewarisan
karakter tersebut. Informasi ini akan dijadikan sebagai dasar pembentukan
metode pemuliaan tanaman (Kasno, 1999).
Hayman (1961) mengemukakan bahwa studi genetik untuk mempelajari pola pewarisan
gen yang mengendalikan suatu karakter dapat dilakukan dengan menduga parameter
genetik. Salah satu cara untuk menduga parameter genetik adalah analisis silang
dialel dengan menyilangkan beberapa galur/genotipe yang memiliki sifat
tertentu. Persilangan antara galur/genotipe ini akan menginformasikan
karakteristik dari gen-gen pengendali karakter serta daya gabung dari
masing-masing galur/genotipe sehingga pada tahap akhir dari kegiatan pemuliaan
tanaman akan menghasilkan varietas baru yang memiliki keunggulan untuk
sifat-sifat yang diwariskan (Syukur, 2006).
III.
BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian akan
dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai Februari 2013 di Laboratorium
Lapangan Fakultas Pertanian Universitas Riau, Desa Rimbo Panjang Kecamatan
Tambang, Kabupaten Kampar. Penyemaian dilakukan di rumah kassa Laboratorium
Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Riau kampus Bina Widya Panam.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan tanaman
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 4 tetua dan 3
genotipe F1 hasil persilangan cabai (Tabel 1).
Sarana produksi
yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah media tanam berupa campuran topsoil dan pupuk kandang dengan
perbandingan 1:1, pupuk NPK, TSP, KCl dan Urea, Gandasil D, kapur, dan Gandasil
B. Pestisida yang digunakan terdiri dari Dithane M-45, Curacron, dan Dicofan.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mulsa Plastik Hitam Perak
(MPHP), tray semai, cangkul, ember, ayakan, sprayer, pelubang mulsa, tali rafia,
gunting, gembor, ajir, timbangan, label dan alat tulis. Sedangkan di
laboratorium alat yang dipakai adalah
timbangan analisis (Sartorius Model M122MF).
Tabel
1. Bahan tanam tetua dan hasil
persilangan genotipe cabai
Kode Genotipe
|
Genotipe
Persilangan
|
A
|
IPB C-5 ( cabai besar )
|
B
|
IPB C-111 ( cabai kriting )
|
C
|
IPB
C-120 ( cabai keriting)
|
D
|
IPB C-159 ( cabai kriting )
|
E
|
IPB C-159 x IPB C-5
|
F
|
IPB C-159 x IPB C-111
|
G
|
IPB C-159 x IPB C-120
|
3.3. Metode Penelitian
Penelitian
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), faktor
tunggal yang terdiri dari 4 tetua dan 3 genotipe F1 hasil persilangan cabai
dengan 3 ulangan (Lampiran1), sehingga terdapat 21 satuan percobaan.
Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman, dari jumlah tersebut
diambil 10 tanaman sebagai sampel.
Data yang diperoleh dianalisis dengan anova menggunakan fasilitas SAS 9 dan jika
uji F nyata pada peubah tersebut dilakukan uji lanjut Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) taraf 5% dan diduga
parameter genetiknya. Parameter genetik berupa ragam genotipe (σ2G), Ragam Fenotipe (σ2P),
dan koefisien keragaman genetik (KKG) diduga dengan menggunakan formula (Singh
and Chaudhary, 1979) sebagai berikut:
KKG = × 100%
Keterangan:
= ragam genotipe
= ragam eror
= ragam fenotipe
r = ulangan
= nilai tengah peubah
Luas atau sempitnya nilai keragaman
genetik suatu karakter ditentukan berdasarkan ragam genetik dan standar deviasi
ragam genetik menurut rumus berikut:
=
bila:
:
keragaman genetiknya luas,
:
keragaman genetiknya sempit (pinaria et
al., 1995).
Nilai heritabilitas dalam arti luas
diduga dengan persamaan berikut:
=
Menurut
Syukur et al. (2009), tinggi
rendahnya nilai heritabilitas digolongkan sebagai berikut:
-
Rendah : h2 < 0.2
-
Sedang : 0.2 ≤ h2 ≤ 0.5
-
Tinggi : h2 > 0.5
3.4.
Pelaksanaan Penelitian
3.4.1.
Pembibitan
Benih
cabai ditanam dalam tray semai dengan ukuran 3 x 3,5 cm per lubang tanam dengan
72 lobang tanam untuk 1 tray. Tray diisi dengan media tanam berupa campuran top
soil dan pupuk kandang ditambahkan NPK sebanyak 3 g/kg media tanam. Benih
dimasukkan kedalam tray sebanyak 1 benih per lubang tanam sedalam lebih kurang
0,5 cm lalu ditutup kembali dengan tanah halus. Pembibitan dilakukan hingga
bibit berumur 6 Minggu Setelah Semai (MSS). Setiap pagi dan sore hari bibit
disiram dengan air hingga media tanam berada dalam keadaan lembab.
Setelah bibit
berumur 2 MSS dilakukan pemupukan dan pengendalian organisme pengganggu. Pupuk
yang diberikan berupa NPK Mutiara 16-16-16 dengan dosis (10 g/l) dan Gandasil D
(1 g/l). Larutan NPK diberikan dengan cara menyiramkan pada daerah perakaran
tanaman sementara larutan Gandasil D diberikan dengan cara disempotkan pada
tanaman. Pengendalian organisme pengganggu tanaman dilakukan dengan menggunakan insektisida Curacron 500 EC (1 cc/liter),
fungisida Dithane 70 WP (1 g/liter). Kedua pestisida tersebut diaplikasikan
dengan cara disemprotkan pada tanaman menggunakan hand sprayer dan diaplikasikan
seminggu sekali.
3.4.2. Persiapan Lahan
Lahan
dipersiapkan melalui proses mencangkul yang dilanjutkan dengan penggemburan dan
perataan tanah. Setelah itu lahan dibagi menjadi 3 petak besar untuk tiga
ulangan. Setiap petakan besar tersebut dibagi menjadi 7 bedengan dengan ukuran
1 m x 5 m untuk setiap genotipe dengan jarak antar bedengan 50 cm.
Untuk
menetralkan pH setiap bedengan diberi kapur sebanyak 2 kg/bedengan dan
dibiarkan selama satu minggu. Kemudian diberi
pupuk kandang sebanyak 20 kg/bedengan dengan cara diaduk rata di atas
permukaan bedengan dan dibiarkan selama satu minggu. Setelah pupuk kandang
dibiarkan satu minggu, selanjutnya diberi pupuk dasar yaitu Urea, TSP dan KCl
masing-masing dengan dosis 350 g, campuran pupuk tersebut disebar secara merata
pada bedengan. Setelah lahan disiapkan sesuai rancangan, bedengan ditutup dengan
Mulsa Plastik Hitam Perak (MPHP) dan dibuat lubang menggunakan alat pelubang mulsa
dengan jarak 50 cm x 50 cm.
3.4.3.
Penanaman
Bibit
dipindahkan ke lapangan setelah berumur 6 MSS, setiap lubang tanam ditanami
satu bibit cabai. Penanaman dilakukan pada sore hari.
3.4.4. Pemeliharaan
3.4.4.1 Penyiraman
Penyiraman
dilakukan 2 kali sehari, yaitu pada pagi dan
sore hari, terutama jika tidak turun hujan. Penyiraman dilakukan dengan
menggunakan gembor sampai keadaan tanah menjadi lembab.
3.4.4.2 Penyulaman
Penyulaman dilakukan pada tanaman cabai yang
mengalami pertumbuhan yang abnormal,
layu, dan terserang hama atau penyakit. Kegiatan ini dilakukan dengan cara
mengganti tanaman tersebut dengan tanaman yang berumur sama yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Waktu penyulaman adalah minggu pertama setelah pindah
tanam dan dilakukan pada sore hari untuk menghindari transpirasi yang tinggi karena
cahaya matahari.
3.4.4.3. Pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit
Pemupukan dan
pengendalian hama penyakit dilakukan satu minggu sekali dengan cara
dikocor/disiram dan disemprotkan pada tanaman. Pupuk NPK Mutiara (10 g)
dicampur dengan Dhitane (2 g) dilarutkan dalam 1 liter air disiramkan di
perakaran tanaman dengan dosis 250 ml per tanaman. Gandasil B/D sebanyak 2 g
ditambahkan Curacron 500 EC sebanyak 2 ml, dan Antracol (2 ml) dicampurkan ke
dalam 1 liter air, kemudian disemprotkan ke tanaman penyemprotan ini dilakukan
satu minggu sekali sejak tanaman berumur 2 minggu setelah tanam sampai akhir
panen. Fungisida Antracol atau Dhitane dilakukan berselang seling selama
pengendalian hama dan penyakit.
Pupuk Gandasil D
diaplikasikan saat pertumbuhan vegetatif (daun), yaitu dari pindah tanam sampai
umur 4 minggu setelah tanam. Sedangkan pupuk Gandasil B diaplikasikan saat
pertumbuhan generatif, yaitu pada umur 4
minggu setelah tanam sampai tanaman berumur 4 bulan.
3.4.4.4. Penyiangan
Penyiangan secara manual dilakukan pada gulma yang
tumbuh di sekitar perakaran. Untuk gulma yang tumbuh pada areal di luar
bedengan dilakukan penyiangan secara mekanik menggunakan cangkul.
3.4.5.
Panen
Pemanenan
dilakukan dua kali seminggu. Ciri-ciri buah yang siap dipanen adalah bila 70%
bagian buah sudah berwarna merah. Panen dilakukan selama 8 minggu.
3.5.
Pengamatan
Untuk pengamatan terdiri dari peubah kuantitatif, mengacu pada Descriptors for Capsicum (IPGRI, 1995) yaitu:
1.
Waktu berbunga (HST),
dihitung jumlah hari setelah tanam sampai 50% populasi tanaman setiap bedengan
berbunga.
2.
Tinggi tanaman (cm), diukur
dari pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi, diukur setelah panen kedua.
3.
Tinggi
dikotomus/percabangan pertama (cm), diukur dari pangkal batang sampai cabang
dikotomus. Pengukuran dilakukan setelah panen kedua.
4.
Diameter batang (mm),
diukur ± 5 cm dari permukaan tanah setelah panen kedua, dengan menggunakan
jangkar sorong digital.
5.
Lebar tajuk (cm),
diukur pada tajuk terlebar setelah panen pertama.
6.
Umur panen (HST),
dihitung jumlah hari setelah 50% tanaman di dalam petak telah mempunyai buah
masak pada percabangan pertama.
7.
Bobot buah (g), diambil
rata-rata 10 buah setiap satuan percobaan mulai dari panen kedua dan diukur
menggunakan timbangan analitik.
8.
Panjang buah (cm),
diambil rata-rata 10 buah setiap satuan percobaan mulai dari panen kedua dan diukur
dari pangkal sampai ujung buah.
9.
Panjang tangkai buah (cm), diambil
rata-rata 10 buah setiap satuan percobaan mulai dari panen kedua dan diukur
dari ujung tangkai sampai pangkal buah.
10. Diameter
buah (mm), diambil rata-rata 10 buah setiap satuan percobaan mulai dari panen
kedua dan diukur mengunakan jangka sorong.
11. Bobot per tanaman (g), diambil jumlah produksi buah
setiap tanaman sampel mulai dari panen pertama sampai dengan panen terakhir.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F dan I.G. Made .S. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai
Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Allard
RW. 1960. Principles of Plant
Breeding. New York: J Wiley & Sons.
Badan
Pusat Statistik. 2012. Luas Panen,
Produksi, dan Produktivitas Cabai 2009-2011. http://www.bps.go.id/. [18
November 2012].
Daryanto A, S. Sujiprihati, dan M. Syukur. 2010. Heterosis
dan Daya Gabung Karakter Agronomi Cabai (Capsicum annuum L.) Hasil Persilangan
Half Diallel. J. Agron. Indonesia 38 (2): 113-121.
Davies J. 2011. Modul Pelatihan
Penilaian dan Pengelolaan Lahan Gambut. Proyek hutan lahan gambut asean dan
proyek pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Sekretariat Asean dan Global
Environment Center.
Deviona,
E. zuhry, M. Syukur
dan S. Sujiprihati. 2011.
Laporan Hibah
Pekerti Perakitan Varietas Cabai Capsicum spp di lahan gambut. Lemlit
UR.
Direktorat
Tanaman Sayuran, Hias, dan Aneka Tanaman. 2003. Pedoman Budidaya Cabai Merah. Departemen Pertanian, Jakarta.
Fatwa
M.A. 2010. Efek Mikroorganisme Selulotik
Terhadap Dekomposisi Tanah Gambut dan produksi Cabai Merah Keriting (Capsicum
annuum L.) Setelah Tanaman Kedelai. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas
Riau, Pekanbaru. (Tidak dipublikasikan)
Hayman
BI. 1961. The theory and analisis of
diallel cosses genetic. 39 : 789-809.
Harian
Haluan. 2 desember 2012. Pekanbaru Butuh
4 Ton Cabai Per Hari. Pekanbaru.
Hardjowigeno, S. 1986. Ilmu Tanah.
Akademika Pressindo. Jakarta.
IPGRI. 1995. Descriptors for Capsicum (Capsicum spp.). International
Plant Genetic Resources Institute 1995. Italia. 51 hal.
Kasno,
A., Trustinah, dan Moedjiono. 1999. Pemilihan
tetua kacang panjang melalui silang dialel dan pendugaan parameter genetik
dalam Soedarjo, dkk. (editor) Komponen Teknologi
Untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-umbian. Edisi
khusus Balitkabi No. 16: 306−390.
Kristijono
A. 2003. Pemanfaatan Lahan Gambut untuk
Agro-industri : Tantangan dan peluang.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat. Badanlitbang
Pertanian. Departemen Pertanian. 11 hal Daskalov. 1998.
Kusandriani,
Y. 1996. Botani Tanaman Cabai Merah. Balai
Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang.
Noor M.
2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi
dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta.
Poehlman J.M. and D.A. Sleeper. 1995. Breeding Field Crops. Iowa State University Press. USA.
Pinaria A, A. Baihaki, R. Setiamihardja dan A.A.
Daradjat. 1995. Variabilitas genetic dan
heritabilitas karakterkarakter biomassa 53 genotipe kedelai. Zuriat 6(2): 88-92.
Poespodarsono
S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan
Tanaman. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 169 hal.
Poulos
J.M. 1996. Capsicum L. P 136-140. In J. S. Siemonsma and K. Piluek.
Vegetable Plant Resources Of Sount East Asia 8th ed. Pudoc-DLO.
Wageningen. Netherland.
Pratiwi
I Y.B.S, W. Dewi W, R. Rachmadi, N. Rostini dan Setiamihardja R. 2006. Ketahanan 20 Genotip Cabai Merah (Capsicum
annuum L.) Terhadap Antaknos (Colletotrichum spp.) pada Pertanaman Tumpangsari
dengan Singkong. Zuriat, vol. 27, No. 2.
Rubatzky
V.E dan M. Yamaguchi. 1997. World
Vegetables Principles, Production and Nutrictive Value, 2 nd ed.
Chapman and Hall. USA. 83p.
Rubatzky
V.E dan M. Yamaguchi. 1999. Sayuran
Dunia 3: Prinsip Produksi, dan Gizi. Penerbit ITB. Bandung. 320 hal.
Santika A. 2002.Agribisnis Cabai. Penebar
Swadaya. Jakarta
Setiadi
I. 1993. Bertanam Cabai. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Singh R.K., B.D. Chaudary. 1979. Biometrical
Methods in Quantitative Genetic Analysis. Kalyani Publisher. New Delhi. 302
p.
Stansfield
W.D. 1991. Genetika Edisi Kedua.
Erlangga. Jakarta.
Suharsono, M. Alwi, dan A. Purwito. 2009. Pembentukan
Tanaman Cabai Haploid melalui Induksi Ginogenesis dengan menggunakan Serbuk
sari yang Diradiasi Sinar Gamma. J. Agron. Indonesia 37 (2): 123-129.
Sujiprihati S, R. Yunianti, M. Syukur dan Undang.
2007. Pendugaan Nilai Heterosis dan Daya Gabung Beberapa Komponen Hasil pada
Persilangan Dialel Penuh Enam Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.). Bul.
Agron. (35) (1) 28-35.
Sunarjono,
H. 2006. Bertanam 30 Jenis Sayur.
Penebar Swadaya. Jakarta. 181 hal.
Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R, Undang. 2006. Seleksi hibrida cabai hasil persilangan full diallel menggunakan
beberapa parameter genetic. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi
dan Pemuliaan Tanaman di Bogor 1−2 Agustus 2006. Hal. 151−156.
Syukur M., S. Sujiprihati, R. Yunianti. 2009. Teknik
Pemuliaan Tanaman. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 300 hal.
Syukur M., S. Sujiprihati, R. Yunianti. 2010. Pendugaan Komponen Ragam, Heritabilitas
dan Korelasi untuk Menentukan Kriteria Seleksi
Cabai (Capsicum
annuum L.) Populasi F5. Jurnal Hortikultura Indonesia, volume 1(3):74-80.
Syukur M, S. Sujiprihati, R. Yunianti dan Kusumah D.A. 2010. Evaluasi daya hasil
cabai hibrida dan daya adaptasinya
di empat lokasi dalam dua tahun. J. Agron. Indonesia 38(1):43 –
51.
Syukur
M, S. Sujiprihati, dan R. Yunianti. 2012. Teknik
Pemuliaan Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta.
Syukur
M, R. Yunianti, dan R. Darmawan. 2012. Sukses
Panen Cabai Tiap Hari. Penebar Swadaya. Jakarta.
Tarigan
S dan W. Wiryanta. 2003. Bertanam Cabai Hibrida secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Wiryanta B. dan T. Wahyu. 2002. Bertanam Cabai pada Musim Hujan. Agromedia
Pustaka. Jakarta.