I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Cabai (Capsicum
annuum L.) termasuk salah satu komoditas unggulan sayuran di Indonesia,
dengan areal pertanaman terluas diantara tanaman sayuran lainnya. Luas
tanaman cabai pada tahun 2008 mencapai 103,837 ha, menempati urutan pertama
terluas dibandingkan dengan tanaman sayuran lainnya (Direktorat Jendral
Hortikultura, 2009), namun produksi masih belum mencukupi kebutuhan nasional.
Potensi produksi rata-rata per ha baru mencapai 6.51 ton per ha, sementara
potensinya mencapai 20-40 ton per ha.
Pada saat tertentu, kebutuhan cabai sangat tinggi
sehingga produksi nasional tidak mampu memenuhi permintaan yang selalu
bertambah dari tahun ke tahun. Ketidak mampuan mencukupi kebutuhan cabai disebabkan
oleh rendahnya produktivitas dibandingkan dengan produktivitas cabai di China,
Thailand, dan India. Pada tahun 2008, luas panen cabai di Indonesia adalah 93.085
ha dengan total produksi 668.970 ton sehingga produktivitasnya adalah 6,44
ton/ha (BPS, 2009). Produktivitas cabai di China pada tahun 2007 mencapai
21,495 ton/ha, dan di Thailand 14,167 ton/ha dan di India 9,273 ton/ha (FAO,
2009). Sedangkan
untuk Provinsi Riau luas panen adalah 3,166 ha dengan produksi 11,942 ton sehingga produktivitas cabai di Provinsi Riau sebesar 3,77 ton/ha (BPS, 2010). Angka ini jauh dari potensi cabai yang semestinya, yaitu 12 ton/ha (Purwati dan Jaya, 2000).
Salah satu penyebab rendahnya produksi cabai di
Indonesia adalah penggunaan benih yang tidak bermutu. Sebagian besar petani
cabai di Indonesia menggunakan benih lokal, dan sering kali menggunakan benih
yang berasal dari kebun untuk produksi cabai. Menurut Nasir, 1999, salah satu
cara peningkatan produktivitas cabai adalah perbaikan potensi genetik melalui
pembentukan varietas hibrida.
Terbatasnya areal pertanian yang bisa
digunakan untuk budidaya merupakan dampak dari alih fungsi lahan yang banyak
terjadi. Hal ini menuntut adanya usaha untuk segera mencari alternatif lahan
yang bisa digunakan. Sebagaimana diketahui, Riau merupakan salah satu Provinsi yang memiliki lahan gambut cukup luas, total luas lahan gambut mencapai
4.827.927 ha (51,06 %) atau setengah dari luas lahan pertanian yang ada,
sebagian besar lahan gambut tersebar di Kabupaten Indragiri Hilir, Bengkalis
dan Siak (Distan Riau, 2002). Selain
arealnya yang luas gambut merupakan lahan potensial untuk dikembangkan
khususnya untuk tanaman sayuran (Kristijono,
2003).
Perakitan varietas unggul
merupakan salah satu kegiatan pemuliaaan tanaman yang bertujuan meningkatkan daya hasil. Secara
umum Daskalov (1998) menyatakan strategi
pemuliaan tanaman adalah untuk meningkatkan produktivitas, memperpendek masa
vegetatif, resisten terhadap cekaman biotik dan lingkungan, mudah dalam proses
pemanenan dan meningkatkan kualitas buah. Sejalan dengan hal tersebut maka
perakitan varietas cabai unggul yang toleran pada lahan gambut merupakan salah
satu upaya pemulia tanaman untuk meningkatkan produktivitas cabai khususnya
daerah Riau.
1.2.
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
menduga parameter genetik, variabilitas dan heritabilitas beberapa karakter
agronomi genotipe cabai untuk mendapatkan kriteria seleksi cabai berdaya hasil
tinggi serta mencari genotipe yang memiliki daya hasil tinggi.
1.3.
Hipotesis
1.
Terdapat satu atau lebih karakter yang memiliki
variabilitas yang luas, heritabilitas dan korelasi dengan daya hasil yang
tinggi, yang dapat dijadikan kriteria seleksi.
2.
Terdapat satu atau lebih genotipe cabai berdaya hasil
tinggi.
1.4.
Perumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalah yang dipandang menarik, penting, dan perlu diteliti yaitu:
1. Produksi
cabai di Indonesia belum mencukupi permintaan konsumen cabai dalam negri.
2. Adanya
alih fungsi lahan pertanian, sehingga memerlukan alternatif penggunaan lahan
gambut sebagai lahan pertanian.
3. Masih
sedikitnya varietas cabai yang toleran terhadap lahan gambut.
1.5.
Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat
yang diperoleh dari penelitian ini yaitu meningkatkan pengembangan ilmu
pengetahuan terutama dibidang pemuliaan tanaman.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tanaman
Cabai (Capsicum annuum .L)
Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan suatu
komoditas sayuran yang tidak dapat ditinggalkan masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari. Berdasarkan asal usulnya, cabai (Hot papper) berasal dari peru. Ada yang menyebutkan bahwa bangsa
Meksiko kuno sudah menggemari cabai semenjak tahun 700, jauh sebelum Colombus
menemukan benua amerika (1492). Christophorus Colombus kemudian menyebarkan dan
mempopulerkan cabai dari benua Amerika ke Spanyol pada tahun 1492. Pada awal
tahun 1500-an, bangsa Portugal mulai memperdagangkan cabai ke Makao dan Goa,
kemudian masuk ke India, China, dan Thailand. Sekitar tahun 1513 Kerajaan Turki
Usmani menduduki wilayah Portugis di Hormuz, teluk Persia. Di sinilah orang
Turki mengenal Cabai. Saat Turki menduduki Hongaria, Cabai pun memasyarakat di Hongaria.
Hingga sekarang
belum ada data yang pasti mengenai kapan cabai di bawa masuk ke Indonesia. Menurut
Dugaan, kemungkinan besar cabai dibawa oleh saudagar-saudagar dari Persia
ketika singgah di Aceh. Sumber lain menyebutkan bahwa cabai masuk ke Indonesia
karena dibawa bangsa Portugis.
Selain berguna
sebagai penyedap masakan, cabai juga mengandung zat-zat gizi yang sangat
diperlukan untuk kesehatan manusia. Cabai mengandung protein, lemak,
karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin-vitamin, dan mengandung
senyawa-senyawa alkaloid, seperti capsaicin, flavenoid, dan minyak esensial.
Tabel 1
menjelaskan kandungan gizi cabai merah besar 100 g bahan.
Tabel
1. Kandungan Gizi Cabai Merah Besar Per 100 g Bahan
Kandungan Gizi
|
Cabai Merah
Segar
|
Cabai Merah Kering
|
Kadar
air (%)
|
90,9
|
10,0
|
Kalori
(kal)
|
31,0
|
311
|
Protein
(g)
|
1,0
|
15,9
|
Lemak
(g)
|
0,3
|
6,2
|
Karbohidrat
(g)
|
7,3
|
61,8
|
Kalsium
(mg)
|
29,0
|
160
|
Fosfor
(mg)
|
24,0
|
370
|
Besi
(mg)
|
0,5
|
2,3
|
Vitamin
A (Sl)
|
470
|
576
|
Vitamin
C (mg)
|
18,0
|
50,0
|
Vitamin
B1 (mg)
|
0,05
|
0,4
|
Berat
yang dapat dimakan/BDD (%)
|
85
|
85
|
Sumber: Direktorat Gizi, Depkes RI
(1981)
Selain
sebagai pembangkit selera makan, cabai dengan rasa pedasnya telah lama diyakini
berkhasiat bagi kesehatan. Konon cabai telah biasa digunakan sebagai bahan obat
tradsiional oleh suku Indian di Amerika.
Rasa
pedas pada cabai ditimbulkan oleh zat capsaicin. Capsaicin terdapat pada biji
cabai dan pada plasenta, yaitu kulit cabai bagian dalam yang berwarna putih
tempat melekatnya biji. Rasa pedas tersebut bermanfaat untuk mengatur peredaran
darah; memperkuat jantung, nadi, dan
saraf; mencegah flu dan demam; membangkitkan semangat dalam tubuh (tanpa efek
narkotik); serata mengurangi nyeri encok dan rematik. Penelitian terakhir di
Washington, USA menyebutkan bahwa mengkonsumsi cabai secara teratur dapat
mencegah kerentanan tubuh.
Meskipun
banyak manfaatnya, cabai juga di duga mempunyai efek yang kurang menguntungkan
bagi kesehatan. Orang yang kondisi tubuhnya sangat sensitive apabila makanan
masakan pedas akan mudah mengalami kejang perut dan diare. Menutut American
Journal Epidemic tahun 1994, orang yang gemar masakan pedas kemungkinan
mendapatkan resiko kanker perut 5,5 kali lebih besar dibandingkan dengan orang
yang tidak memakan cabai. Oleh karena itu, meskipun kondisi tubuh cukup kuat
menerima masakan pedas, namun konsumsi cabai yang berlebihan harus tetap
dikendalikan. Demikian pula apabila kondisi tubuh tidak tahan menerima masakan
pedas, jangan dipaksa makan masakan yang terlalau pedas karena akan berakibat
fatal bagi kesehatan.
Cabai
termasuk tanaman semusim (annual) berbentuk perdu, berdiri tegak dengan batang
berkayu, dan memiliki banyak cabang. Tinggi tanaman dewasa antara 65-120 cm.
lebar tajuk tanaman 50-90 cm.
Dalam
dunia tumbuh-tumbuhan (Plantarum), cabai tergolong dalam tumbuhan yang
menghasilkan biji (Spermatophyta). Bijinya tertutup oleh bakal buah sehingga
termasuk dalam golongan tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae).
Lembaga
pada cabai terdiri dari dua daun lembaga sehingga dimasukkan dalam kelas
tumbuhan berbiji belah (Dicotyledoneae). Hiasan bunganya termasuk lengkap,
yaitu terdiri atas kelopak dan mahkota, dengan daun-daun mahkota yang
berlekatan menjadi satu sehingga digolongkan dalam sub kelas Sympetalae. Cabai
termasuk dalam keluarga terung-terungan (Solanaceae).
Secara
lengkap cabai diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom:
Plantea ; Divisi : Spermatophyta; Subdivisi : Angiospermae; Kelas : Dicotyledoneae; Subkelas : Sympetalae; Ordo : Tubiflorae (Solanales); Famili : Solanaceae; Genus : Capsicum; Spesies : Capsicum annuum L.
Perakaran
tanaman cabai merupakan akar tunggang yang terdiri atas akar utama (primer) dan
akar lateral (sekunder). Dari akar lateral keluar serabut-serabut akar (akar
tersier). Apnjang akar primer berkisar 35-50 cm. akar lateral menyebar sekitar
35-45 cm.
Batang
utama cabai tegak lurus dan kokoh, tinggi sekitar 30-37,5 cm, diameter batang
antara 1,5-3,0 cm. batang utama berkayu dan berwarna coklat kehijauan.
Pembentukan kayu pada batang utama mulai terjadi pada umur 30 hari setelah
tanam (HST). Pada setiap ketiak daun akan tumbuh tunas baru yang dimulai pada
umur 10 HST. Namun, tunas-tunas ini harus dihilangkan (dirempel) sampai batang
utama menghasilkan bunga pertama tepat diantara cabang primer. Cabang primer
inilah yang harus dipelihara dan tidak dirempel sehingga bentuk percabanagan
dari batang utama ke cabang primer berbentuk huruf “Y”, demikian pula antara
cabang primer ke cabang sekunder.
Dilihat
dari pertumbuhannya, pertambahan panjang tanaman cabai diakibatkan oleh
pertumbuhan kuncup ketiak daun secara terus menerus. Pertumbuhan semacam ini
disebut pertumbuhan simpodial. Cabang sekunder akan membentuk percabanagn
tersier dan seterusnya. Pada akhirnya terdapat kira-kira 7-15 cabang per
tanaman (tergantung varietas) apabila dihitung dari awal percabanagn untuk
tahapan pembungaan I. apabila tanaman masih sehat dan dipelihara sampai
pembentukan bunga tahap II, percabangan dapat mencapai 21-23 cabang.
Daun
cabai berwarna hijau muda sampai hijau gelap tergantung varietasnya. Daun
ditopang oleh tangkai daun. Tulang daun berbentuk menyirip. Secara keseluruhan
bentuk daun cabai hibrida adalah lonjong dengan ujung daun meruncing.
Bunga
cabai berbentuk seperti terompet (hypocrateriformis).
Bunga cabai tergolong bunga yang lengkap (Completus)
karena terdiri dari kelopak bunga (calyx),
mahkota bunga (corolla), benang sari
(stamen), dan putik (pistillum). Alat kelamin jantan (benang
sari) dan alat kelamin betina (putik) pada cabai terletak dalam satu bunga
sehingga disebut berkelamin dua (hermaphrodites).
Bunga cabai biasanya menggantung, terdiri dari 6 helai kelopak bunga berwarna
kehijauan dan 5 helai mahkota bunga berwarna putih. Bunga keluar dari
ketiak-ketiak daun.
Tangkai
putik berwarna putih dengan kepala putik berwarna kuning kehijauan. Dalam satu
bunga terdapat satu putik dan enam benang sari. Tangkai sari berwarna putih
dengan kepala sari berwarna biru keunguan. Setelah terjadi penyerbukan, akan
terjadi pembuahan. Pada saat pembentukan buah, mahkota bungan rontok tetapi kelopak
bunga tetap menempel pada buah.
Bentuk
buah bervariasi mulai dari panjang lurus, mata kail (lurus dengan ujung agak
melengkung), sampai melintir. Varietas cabai yang panjang lurus seperti Hero,
Amando, Hot Chili, Red Beauty, Arimbi, dan Wonder Hot. Varietas cabai yang mata
kail contohnya Hot Beauty, Long Chili, Passion, dan Hot Chili. Varietas cabai
yang melintir contohnya cabai keriting hibrida Hybrid TM-999, cabai semi
keriting Ever-Flavor (462), dan Hybrid TM-888. Panjang buah berkisar antara 9-18
cm tergantung pada varietas.
McGillivray
(1961) tanaman cabai dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran tinggi dan
dataran rendah. Tanaman cabai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asalkan
mempunyai drainase dan aerasi yang baik. Sedangkan Rubatzky dan Yamaguchi
(1999) berpendapat bahwa tanah yang paling ideal untuk tanaman cabai adalah
tanah yang mengandung cukup bahan organik dan mempunyai pH sekitar 6.0-6.5.
Keadaan pH sangat penting karena erat kaitannya dengan unsur hara yang
terkandung didalam tanah tersebut. Wiryanta (2002) menambahkan tanah yang
terlalu asam, selain menghambat penyerapan unsure hara oleh tanaman, juga
dikhawatirkan mengundang cendawan Rhizoctonia
sp. Dan Phytium sp. Karena kedua
cendawan tersebut berkembang biak di tanah asam. Pengapuran dilakukan apabila
pH tanah kurang dari 6.0.
Rubatzky dan Yamaguchi (1999)
menyatakan suhu udara yang paling cocok untuk pertumbuhan cabai rata-rata
adalah 16 oC pada malam hari dan 23 oC pada siang hari.
Tanaman cabai membutuhkan curah hujan sekitar 600-1 200 mm/tahun untuk
pertumbuhannya. Tanaman cabai tidak menginginkan curah hujan yang tinggi atau
iklim yang basah, karena tanaman akan dengan mudah terserang penyakit.
2.2. Tanah Gambut
Pusat
Penelitian Tanah (1990) mengemukakan bahwa tanah gambut atau Organosol adalah
tanah yang mempunyai lapisan atau horison H, setebal 50 cm atau lebih atau
dapat 60 cm atau lebih bila terdiri dari bahan Sphagnum atau lumut, atau jika
berat isinya kurang dari 0,1 g cm-3. Ketebalan horison H dapat kurang dari 50
cm bila terletak diatas batuan padu. Tanah
yang mengandung bahan organik tinggi disebut tanah gambut (Wirjodihardjo, 1953)
atau Organosol (Dudal dan Soepratohardjo, 1961) atau Histosol (PPT, 1981).
Gambut
dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman yang berlapis-lapis hingga mencapai
ketebalan >30cm. Proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses
geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowegeno, 1986).
Gambut terbentuk dari lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan
yang terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara akibat genangan,
ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah telah mencegah aktivitas
mikro-organisme yang diperlukan dalam perombakan. Laju penimbunan gambut
dipengaruhi oleh peduan antara keadaan topografi dan curah hujan dengan curahan
perolehan air yang lebih besar dari pada kehilangan air serta didukung oleh
sifat tanah dengan kandungan fraksi debu (silt) yang rendah.
Ketebalan
gambut pada setiap bentang lahan adalah sangat tergantung pada: 1). proses
penimbunan yaitu jenis tanaman yang tumbuh, kerapatan tanaman dan lama
pertumbuhan tanaman sejak terjadinya cekungan tersebut, 2). proses kecepatan
perombakan gambut, 3). proses kebakaran gambut, dan 4). Perilaku manusia
terhadap lahan gambut.
Gambut
dengan ketebalan 3 m atau lebih termasuk kategori kawasan lindung sebagai
kawasan yang tidak boleh diganggu. Kebijakan ini dituangkan melalui Keppres No.
32 tahun 1990 yang merupakan kebijakan umum dalam reklamasi dan pemanfaatan
lahan gambut di Indonesia.
Berdasarkan
besarnya potensi sumberdaya, kendala biofisik dan peluang pengembangan, maka
rawa khususnya gambut pedalaman perlu mendapatkan perhatian serius. Gambut
dikategorikan sebagai lahan marjinal, karena kendala biofisiknya sukar diatasi.
Prodiktifitas gambut sangat beragam, ketebalan gambut juga menentukan
kesuburannya (Barchia, 2006).
Menurut
Soil Survey Staff (1990), bahwa tingkat kematangan atau tingkat pelapukan tanah
gambut dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi dari bahan atau serat tumbuhan
asalnya. Tingkat kematangan terdiri dari tiga katagori yaitu fibrik, hemik dan
saprik.
Tingkat
kematangan tanah gambut dalam pengamatan di lapangan dapat dilakukan dengan
cara mengambil segenggam tanah gambut dan memersnya dengan tangan. Kriteria
mentah atau matang dari gambut dapat ditunjukkan dengan melihat hasil cairan
dan sisa bahan perasan.
Ketentuan
dalam menentukan kematangan gambut untuk masing-masing katagori adalah sebagai
berikut:
1.
Tingkat kematangan fibrik yaitu apabila
kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah
tiga per empat bagian atau lebih (>3/4).
2.
Tingkat kematangan hemik yaitu apabila
kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah
antara kurang dari tiga per empat sampai seperempat bagian atau lebih
(<3/4>1/4).
3.
Tingkat kematangan saprik yaitu apabila
kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah
kurang dari seperempat bagian (<1/4).>3m) sekitar 5%, gambut dalam dan
tengahan (tebal 1m – 3m) sekitar 11% -12%, dan gambut dangkal sekitar 15%
(Noor, 2001). Kadar abu dan kadar bahan organik mempunyai hubungan dengan
tingkat kematangan gambut. Gambut mentah (fibrik) mempunyai kadar abu 3,09%
dengan kadar bahan organik 45,9%. Sedangkan gambut hemik mempunyai kadar abu
8,04% dengan kadar bahan organik 51,7% dan gambut matang (saprik) mempunyai
kadar abu 12,04% dengan kadar bahan organik 78,3% (Setiawan, 1991).
2.3. Pemuliaan
Tanaman Cabai
Cabai merupakan salah satu jenis tanaman sayuran penting
yang dibudidayakan secara komersial di daerah tropis. Kegunaannya ssebagian
besar untuk konsumsi rumah tangga.
Tanaman cabai dapat ditanam di dataran rendah sampai
tinggi dan diberbagai jenis tanah. Namun kiranya sulit untuk suatu varietas
unggul dalam segala lingkungan. Karena itu, perlu diusahakan bermacam-macam
varietas unggul untuk suatu lingkungan tertentu. (Santika, 2002).
Sebagian besar petani cabai masih menggunakan benih lokal
yang berasal dari pertanaman sebelumnya dan sebagian kecil menggunakan benih
hibrida F1 yang di impor. Walaupun tanaman cabai termasuk tanaman yang
menyerbuk sendiri (self-pollinated crop),
tetapi karena morfologi bunganya yang terbuka maka keberhasilan persilangan
hanya sekitar 56%. (Santika, 2002).
Tanaman cabai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri (self-pollinated crop). Oleh karena itu,
metode-metode pemuliannya menuruti seleksi massa, galur murni, silang balik (back cross), SDD (single seed descent).
Pemurnian pada varietas lokal didahului dengan melakukan
seleksi individu tanaman. Hal ini dilakukan karena populasi varietas lokal
sangat bervariasi. Kriteria seleksi tanaman ditetapkan berdasarkan informasi
petani setempat sesuai dengan ciri varietas lokal tersebut. Selanjutnya
tanaman-tanaman yang telah diseleksi tersebut dipelihara sampai berbuah dan
diambil bijinya. Biji-biji tersebut ditanam dalam barisan tersendiri dan
dilakukan lagi seleksi individu.
Daya hasil merupakan sifat kuantitatif dan dikendalikan
oleh banyak gen. Oleh karena itu, perbaikan daya hasil dan sifat-sifat
kuantitatif yang lain memerlukan waktu yang cukup lama. Salah satu metode yang
dapat diterapkan untuk tujuan ini adalah dengan seleksi galur murni.
Menurut
Syukur et al. (2009) menyatakan bahwa
tanaman dibedakan ke dalam dua jenis penyerbukan, yaitu tanaman menyerbuk
sendiri sendiri dan tanaman menyerbuk silang. Tanaman cabai termasuk ke dalam
tanaman menyerbuk sendiri. Namun, peluang tanaman cabai untuk menyerbuk silang
mencapai 35%. Sifat penyerbukan inilah yang menentukan metode pemuliaan tanaman
yang akan dilaksanakan. Metode seleksi pada tanaman menyerbuk sendiri berbeda
dengan metode seleksi pada tanaman menyerbuk silang. Metode seleksi yang sering
digunakan pada tanaman menyerbuk sendiri adalah pedigree, bulk, backcross, dan single
seed descent. Seleksi ini digunakan untuk memilih tanaman yang akan
dijadikan tetua. Menurut Allard (1960), jika tidak ditemukan varietas komersial
yang sesuai dikarenakan sifat agronomi tanaman tersebut, yang biasa digunakan
adalah metode backcross atau pedigree atau bulk.
Pemuliaan
tanaman pada tanaman cabai diawali dari kegiatan koleksi dari berbagai
genotipe, kemudian dilanjutkan dengan identifikasi dari genotipe tersebut.
Hasil identifikasi tersebut dijadikan acuan untuk melakukan proses kegiatan
pemuliaan selanjutnya yang akhirnya mendapatkan genotipe terbaik untuk
dikembangkan sesuai dengan tujuan yang diinginkan (Syukur et al., 2009).
Tujuan dari
pemuliaan tanaman cabai adalah untuk memperbaiki daya hasil dan memperbaiki
resistensi terhadap penyakit. Pemuliaan tanaman untuk memperbaiki daya hasil
cukup lama untuk dilakukan karena karakter daya hasil dipengaruhi dan
dikendalikan oleh banyak gen. Sehingga diperlukan pula perbaikan
karakter-karakter kuantitatif yang lain untuk meningkatkan daya hasilnya
(Syukur et al., 2009).
Prosedur seleksi dalam pemuliaan tanaman dengan
penyerbukan silang menempati bentuk ke luar yang sama seperti mereka dari
tanaman dengan penyerbukan sendiri. Akan tetapi hasilnya tidak sama karena
struktur populasi yang berlainan dari spesies penyerbukan sendiri dan
penyerbukan silang. Dalam tanaman dengan penyerbukan sendiri, seleksi tanaman
individu total secara luas dipakai untuk membentuk varietas bergaris murni
seragam. Tapi dalam tanaman penyerbukan sendiri seleksi tanaman individu
jarang, jika pernah efektif dalam membentuk suatu varietas, karena pemisahan
menyebabkan keturunan menyimpang dari tipe induk dan karena reduksi drastis isi
populasi demikian itu biasanya mempunyai efek tidak menguntungkan pada kekuatan
dan produktifitas. Dalam tanaman menyerbuk silang, seleksi massa dan prosedur
seleksi keturunan dan seleksi galur yang erat hubungannya lebih banyak dipakai
secara umum daripada seleksi tanaman tunggal.
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2012 sampai Maret 2013 di
Laboratorium Lapangan Fakultas Pertanian Universitas Riau, Desa Rimbo Panjang
Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar. Penyemaian dilakukan di rumah kassa Laboratorium Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Riau kampus Bina
Widya Panam pada bulan September sampai Oktober 2012.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media
tanam berupa campuran topsoil dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1, pupuk
NPK, TSP, KCl dan Urea, Gandasil D, kapur, Atonik 6,5 L dan Gandasil B. Pestisida yang digunakan terdiri dari
Dithane M-45, Curacron, Furadan 3GR dan Dicofan. Bahan tanaman yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 41
genotipe cabai.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mulsa
Plastik Hitam Perak (MPHP), tray semai, cangkul, ember, ayakan, sprayer,
cemplungan, tali rafia, gunting, gembor, ajir, timbangan, dan alat tulis.
3.3.
Metode
Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK),
yang terdiri dari 15
perlakuan dan 3 ulangan, masing-masing satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman, dari jumlah tersebut diambil 10 tanaman sebagai sampel, adapun perlakuan tersebut adalah
15 genotipe cabai sebagai berikut:
C5
x C2
C19
x C2
C111
x 2
C120
x C2
C159
x C2
|
C19
x C5
C111
x C5
C120
x C5
C159
x C5
C111
x C19
|
C120
x C19
C159
x C19
C120
x C111
C159
x C111
C159
x C120
|
Keterangan genotipe:
C2 : Cabai Semi keriting
C5 : Cabai Besar
C19 : Cabai Besar
C111 : Cabai Keriting
C120 : Cabai Keriting Panjang
C159 : Cabai Keriting
data yang diperoleh dianalisis dengan anova menggunakan fasilitas SAS 9
dilakukan uji lanjut DNMRT taraf 5%. Model matematis rancangan adalah :
Yij = m + ai + bj + eij
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan genotipe ke-i, ulangan ke-j
μ = Nilai
tengah populasi
αi =
Pengaruh genotipe ke-i (i=1,2,3,…,20)
βj =
Pengaruh ulangan ke-j (j=1,2,3)
εij = Pengaruh galat percobaan
genotipe ke-i, ulangan ke-j
3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1.
Pembibitan
Benih cabai ditanam dalam tray semai dengan ukuran 3 x
3,5 cm per lubang tanam dengan 72 lobang
tanam untuk 1 tray. Tray diisi dengan media tanam berupa campuran topsoil yang
telah diayak bersama pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Benih dimasukkan
kedalam tray sebanyak 1-2 benih per lubang tanam bersamaan dengan Furadan 3GR
0,5 g per lubang trey dengan cara melubangi tanah sedalam lebih kurang 0,5 cm
lalu ditutup kembali dengan tanah halus. Pembibitan dilakukan hingga bibit
berumur 6 Minggu Setelah Semai (MSS). Setiap pagi dan sore hari bibit disiram dengan air hingga
media tanam berada dalam keadaan lembab.
Pada waktu bibit berumur 2 MSS dilakukan pemupukan yaitu pupuk NPK mutiara (3 g/l) dan
Gandasil D (1 g/l). Larutan NPK diberikan dengan cara menyiramkan pada daerah
perakaran tanaman sementara larutan gandasil D diberikan dengan cara disempotkan
pada tanaman.
Usaha
pencegahan terhadap serangan hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan
pestisida. Adapun pestisida yang diberikan adalah Dicofan (1cc) dan Curacron
(1cc). Kedua pestisida tersebut diberikan secara bersamaan yaitu dengan cara
mencampurkannya kedalam 1 liter air lalu disemprotkan pada bibit. Pestisida ini
diberikan 1 kali seminggu setelah bibit berumur 2 MSS.
3.4.2. Persiapan
Lahan dan Penanaman
Pengolahan lahan dilakukan dengan mencangkul dilanjutkan
dengan penggemburan, dan perataan tanah, setelah itu lahan dibagi menjadi tiga
petak besar untuk tiga ulangan. Setiap ulangan dibagi menjadi 20 bedengan
dengan ukuran 1 m x 5 m untuk setiap
genotipe dengan jarak 50 cm.
Untuk meningkatkan pH tanah, lahan diberi kapur sebanyak 2 kg/bedengan (3 ton/ha) dan dibiarkan selama
satu minggu. Setelah itu diberikan pupuk kandang sebanyak 20 kg/bedengan (50 ton/ha) diaduk rata dengan tanah dan
kembali dibiarkan selama satu minggu. Selanjutnya diberikan pupuk dasar
yaitu Urea, TSP dan KCl masing-masing dengan dosis 350 g, sehingga untuk setiap bedengan diberikan
sebanyak 1050 g (700 kg/ha), campuran
pupuk tersebut disebar secara merata pada bedengan. Terakhir bedengan ditutup dengan MPHP kemudian dibuat
lubang dengan jarak 50 cm x 50 cm menggunakan cemplungan yang terbuat dari
kaleng yang diisi dengan bara.
Bibit dipindahkan ke lapangan setelah berumur 6 MSS. Penanaman dengan cara membasahi media tanam dalam tray kemudian
bibit dimasukkan kedalam lubang tanam dan ditutup kembali dengan tanah hingga
padat. Penanaman dilakukan pada sore hari.
3.4.3. Pemeliharaan
3.4.3.1.
Penyiraman dan Pewiwilan
Penyiraman
dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi dan sore hari dengan mengunakan
ember, penyiraman dilakukan sampai tanah meresap air atau terlihat lembab, jika
hujan turun penyiraman tidak dilakukan. Pewiwilan dilakukan dengan membuang tunas air yang tumbuh
pada ketiak daun, sehingga distribusi fotosintat tidak terhambat.
3.4.3.2.
Penyulaman
Penyulaman
bertujuan untuk mengganti tanaman yang pertumbuhannya tidak normal atau tanaman
yang mati dengan bibit baru yang berumur sama. Penyulaman dilakukan 1 MST.
3.4.3.3. Penyiangan
Penyiangan
terhadap gulma yang tumbuh di aliran drainase dilakukan dengan menggunakan
cangkul atau mencabutinya dengan tangan.
3.4.3.4. Pemberian
Ajir
Setiap tanaman cabai diberi tonggak-tonggak atau ajir
lalu diikatkan ke batang tanaman supaya tidak mudah roboh atau patah jika
terkena angin atau hujan.
3.4.3.5. Pemupukan
Susulan
Pemupukan untuk tanaman di lapangan dilakukan 1 MST hingga 8
minggu panen yang diberikan tiap 1 minggu sekali. Pupuk yang digunakan
adalah NPK mutiara (10 g) dan
Gandasil B (2 g).
Pupuk diberikan secara bersamaan yaitu dengan mencampurkannya kedalam 1 liter
air dengan dosis 250 ml per tanaman dan disiramkan pada daerah perakaran tanaman. Pada
pemupukan juga dicampurkan fungisida Dithane M-45 (2 g) untuk mengatasi jamur.
3.4.3.6.
Pengendalian
Hama Penyakit
Pengendalian hama dan penyakit di lapangan juga dilakukan
secara kimia yaitu menggunakan pestisida. Pestisida yang diberikan adalah Dicofan (2 cc), Dithane M-45 (1 g) dan Curacron (2 cc). Ketiga pestisida tersebut diberikan secara
bersamaan yaitu dengan cara mencampurkannya kedalam 1 liter air lalu
disemprotkan pada tanaman. Pestisida ini diberikan 1 kali seminggu setelah
bibit berumur 2 MST hingga 8 minggu panen.
3.4.4. Panen
Pemanenan
dilakukan terhadap buah cabai yang sudah matang yaitu 75% bagian buah telah
berwarna merah . Pemanenan
dilakukan dengan cara buah dipegang kemudian ditarik ke atas sehingga buah akan
putus tanpa merusak cabang tanaman. Pemanenan dilakukan secara bertahap sampai
8 minggu panen.
3.5. Pengamatan
Parameter yang diamati adalah :
1.
Umur
berbunga (anthesis) Hari
Setelah Semai (HSS), jumlah hari setelah semai sampai 50% populasi tanaman
berbunga.
2.
Umur
panen (HSS), 50% tanaman di dalam petak telah mempunyai buah masak pada
percabangan pertama.
3.
Tinggi
tanaman (cm), diukur dari pangkal batang sampai titik tumbuh tertinggi, diukur
setelah panen kedua.
4.
Tinggi
dikotomus (cm), diukur dari pangkal batang sampai cabang dikotomus. Pengukuran
dilakukan setelah panen kedua.
5.
Diameter
batang (cm), diukur ± 5 cm dari permukaan batang setelah panen kedua.
6.
Lebar
tajuk (cm), diukur pada tajuk terlebar setelah panen kedua.
7.
Lebar
daun (cm), pengukuran dilakukan terhadap 10 daun dewasa dari tanaman sampel
pada percabangan ketiga setelah dikotomus.
8.
Panjang
daun (cm), pengukuran dilakukan terhadap 10 daun dewasa dari tanaman sampel
pada percabangan ketiga setelah dikotomus.
9.
Panjang
tangkai buah (cm), diambil rata-rata 10 buah dari tanaman sampel mulai dari panen kedua dan diukur dari
pangkal tangkai sampai ujung tangkai buah.
10. Panjang buah (cm), diambil rata-rata 10 buah dari tanaman sampel mulai dari panen kedua dan diukur dari
pangkal sampai ujung buah.
11. Diameter buah (cm), diambil rata-rata 10 buah dari
tanaman sampel mulai dari panen kedua dan diukur mengunakan jangka sorong.
12. Bobot per buah (g) ditimbang bobot 10 buah dari tanaman
sampel mulai dari panen kedua.
13. Bobot buah per tanaman (g), dihitung dengan menjumlahkan
bobot buah tiap panen selama 8 minggu dan dibagi jumlah tanaman
sampel.
DAFTAR PUSTAKA
Sriani Sujiprihati, Rahmi Yunianti, Muhamad Syukur dan Undang. 2007. Pendugaan
Nilai Heterosis dan Daya Gabung Beberapa Komponen Hasil pada Persilangan Dialel
Penuh Enam Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.). Jurnal Agronomi
Indonesia, volume (35) (1) 28 – 35.
Santika A. 2002.Agribisnis
Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta
Allard R.W. 1995. Pemuliaan
Tanaman. Rineka Cipta. Jakarta.
Muhamad Syukur, Sriani Sujiprihati, Rahmi Yunianti, dan Khaerin Nida. 2010. Pendugaan Komponen Ragam, Heritabilitas
dan Korelasi untuk Menentukan Kriteria Seleksi Cabai (Capsicum
annuum L.) Populasi F5. Jurnal Hortikultura Indonesia, volume 1(3):74-80.
Suharsono, Muhammad Alwi, dan
Agus Purwito. 2009. Pembentukan Tanaman Cabai Haploid melalui Induksi
Ginogenesis dengan menggunakan Serbuk sari yang Diradiasi Sinar Gamma.
Jurnal Agronomi Indonesia, volume 37 (2): 123-129.
Badan Pusat Statistik. 2010. Harvest
Area, Production and Yield of Chili 2010.
http://www.bps.go.id [5 Agustus 2011].
Wiryanta,
B. dan T. Wahyu. 2002. Bertanam Cabai pada Musim
Hujan. Agromedia
Pustaka. Jakarta
Kristijono, A. 2003. Pemanfaatan Lahan Gambut untuk
Agro-industri : Tantangan dan peluang.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat. Badanlitbang
Pertanian. Departemen Pertanian. 11 hal Daskalov. 1998.
0 komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran sangat diharapkan